Masih soal polemik karikatur Majalah Tempo, yang direspon FPI dengan demonstrasi. Seperti yang kita telah ketahui, bahwa demonstrasi berakhir dengan permintaan maaf. Saya baca sebuah komentar di foto instagram Budi Setyarso—pemimpin redaksi Koran Tempo—bahwa seseorang melihat Arif Zulkifli dan Budi, dipaksa meminta maaf. Komentar itu disukai oleh empunya akun instagram @budisetyarso, yang kemudian saya pahami sebagai “ya, memang begitulah kondisinya”. Kisah tentang tekanan terhadap pers dan produk jurnalistik, banyak berasal dari masa orde baru. Wartawan yang mengalami era penuh tekanan itu pasti punya kisah menarik tentang bagaimana mereka sintas. Salah seorang di antara mereka, Karni Ilyas—yang biografinya masih saya baca. Ada sebuah bab yang membahas bagaimana majalah FORUM Keadilan yang dipimpin Karni, selamat dari pembredelan. Saya akan kisahkan garis besarnya untuk kemudian kita bandingkan dengan kondisi kekinian. Pada masa orde baru, operasional media massa harus berlangsung di bawah restu Menteri Penerangan melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Surat sakti ini bisa saja dicabut sewaktu-waktu dengan berbagai pertimbangan.
“Awak redaksi Tempo biasa menggunakan istilah ‘tiarap dulu’ bila pemberitaan mereka sedang bikin merah kuping penguasa” (hal. 228)
Majalah FORUM Keadilan, pada tahun 1994 sedang ada dalam incaran pembredelan, artinya SIUPP mereka akan dicabut. Penyebabnya, menurut Karni yang mendapat bisikan dari Gorries Mere—sekarang pensiunan jenderal Polri—ada pejabat kepolisian yang tidak menyukai Karni.
“Jadi waktu itu bukan FORUM lagi target operasi untuk dibredel, tapi sudah saya targetnya” (hal. 231)
Lalu apa yang dilakukan Karni? Ia menghubungi enam jenderal agar mereka menelepon Menteri Penerangan Harmoko untuk mengaku bahwa FORUM adalah majalah milik mereka—padahal sebenarnya satu grup dengan majalah Tempo. Harmoko akhirnya batal menghentikan izin terbit majalah FORUM Keadilan, karena “Harmoko kan nggak berani sama tentara, saya tahu kelemahannya itu”, kata Karni seperti tertulis di halaman 223 buku biografinya.
“Nah ketika kondisi sedang gawat begitu, Tempo bikin laporan tentang kapal selam dari Jerman. Dipakailah kesempatan itu oleh Harmoko untuk menghantam Tempo. Padahal maunya menghajar FORUM…” (hal. 223)
Ilmu Undur-undur Trik penyelamatan yang dilakukan Karni, diakuinya mirip ilmu undur-undur yang diajarkan sang ayah: berhenti bila ada kaki orang, jalan lagi bila halangan sudah berlalu. Jajaran pemimpin Tempo barangkali sedang bersiasat serupa. Meladeni permintaan demonstran ibarat mengulur benang layangan mengikuti arah angin, untuk kemudian menukik memutus senar layangan lain. Yang jelas, sekarang setidaknya mereka-yang-merasa-tersinggung-dengan-gaya-berita-satire-ala-karikatur-Tempo, sedikit terpuaskan. Dan kita pun makin paham bahwa di era pasca reformasi ini, tantangan berkarya jurnalistik bukan lagi berupa pengekangan penguasa, melainkan kebebasan yang kebablasan.
“Adalah tugas kita semua menjaga agar arah reformasi di segala bidang itu tetap bisa positif dan tidak berbalik menjadi negatif. Sebab, kalau itu terjadi, kita semua akan rugi dan kehilangan momentum untuk mempunyai negara demokratis yang berwibawa” (cakum Pendulum, 29 Juni 1998) []
No comments:
Post a Comment