Tuesday, April 12, 2022

Rumah

Pikiran saya terlempar ke penggalan lirik dari lagu "Rumah", trek pertama album 2020 gubahan White Shoes and The Couples Company. Deskripsi berikut ini, rasanya tepat buat gambarkan rumah yang saya tinggali bersama keluarga kami. 


"Hangat dan nyamannya rumah mungilku/

Oh senangnya hati tinggal di situ//"


Sensasi hangat saya rasakan di bagian kaki. Hujan turun saat saya duduk di teras dengan bangku dan kursi menghadap sebuah taman kecil. Iguana tampak berteduh di batang tanaman berbunga kuning. 


Bebungaan ini cukup rimbun hingga mampu menyamarkan pandangan dari arah jalan. Pohon ini juga cukup tahu diri untuk tumbuh tanpa menyentuh kabel listrik di atasnya.


Saya hampir kehabisan rasa buat menyelipkan satu hal yang mengganggu dari tempat ini. Sampai anak saya, bersuara dari dalam ruangannya yang dingin ber-AC. Itu dia, pendingin ruangan yang kami miliki memang anomali. 


Sengaja kami pilih merk yang cukup punya nama demi hindari keluhan di kemudian hari. Meski, apalah kuasa kita sebagai pembeli barang elektronik, yang tanpa bisa diduga, siapa pun bisa masuk ke persentase kecil yang menerima produk bermasalah.


Tapi toh kami tetap memakainya. Saya sendiri mulai terbiasa dengan suara bising yang berdengung kala dia menyala. Pada akhirnya, rumah ini tetap nyaman dengan fungsi utamanya yang masih terjaga.


Bagi saya, ketaksempurnaan rumah ibarat keluhan yang kita lontarkan ke tubuh sendiri--yang juga sama-sama selalu punya kekurangan. Toh kita berdamai pula apapun kondisinya bukan? Yang penting, selalu ada usaha buat perbaiki, lagi dan lagi.


Istri saya lagi getol-getolnya melengkapi rumah kami. Sore ini, dua paket datang siap dirakit. Tiga lainnya siap diambil. Saya bergegas menggendong tas kosong buat menjemput kiriman lainnya di pos satpam.


Sekali lagi, kaki saya menghangat. Kali ini karena uap air hujan yang terjerang aspal yang sudah matang sebelum hujan membasuhnya beberapa menit lalu. 


Dua tahun berlalu, kompleks perumahan kami masih paranoid dengan kondisi pandemi. Garis finish pengiriman barang digeser ke gerbang cluster, dan beginilah jadinya. Saya musti jalan lagi sekitar puluhan meter buat jemput paket.


Tapi nggak apa-apa juga sih, toh saya pun selalu pilih menolak dijemput driver kantor di depan rumah dan harus jalan kaki juga. Selain biar nggak bikin berisik tetangga, juga supaya rumah saya nggak dihakimi karena kecil tadi.


Sampailah saya di pos satpam. Masukin barang ke tas, lalu jalan balik ke rumah. Di kejauhan, anak saya terlihat menunggu. Dia punya kebiasaan jemput saya kalau selesai ambil barang. 


Seperti biasa, dia lari. Saya berhenti di beberapa rumah sebelum sampai, lalu memeluk dia yang menghambur ke pelukan. Saya pikir, inilah rumah kecil yang sebenarnya. [] 

No comments:

Post a Comment