Sunday, July 14, 2024

Mengenank Amenk

 Di alam sana, Amenk mungkin sedang bermain musik bising bersama Andry Moch, teman se-band-nya di A Stone A. Menurut Ucok Homicide aka Morgue Vanguard mereka berdua ”karya rupa-nya bersaudara”.


November 2011 saya datang ke pameran yang digelar  di Galeri Soemarja, FSRD ITB, tiga tahun setelah Andry meninggal. Amenk jadi pemandu gelaran bernama “Not Fade Away (Andry Moch: The Late Work)” itu. 


Selain temani saya amati lukisan dan instalasi, Amenk juga ceritakan bahwa Andry pernah mondok di sebuah islamic boarding school di Garut, Jawa Barat. Bertahun kemudian Amenk juga mengaku punya pengalaman yang mirip.


Via akun media sosialnya dia pernah berbagi foto diri berkopiah saat mondok di Daarut Tauhid. Dia dan masa lalunya keliatan damai-damai saja.


Di tahun yang sama, empat bulan sebelum itu, Amenk memajang karyanya dalam sebuah pameran tunggal. Saya tidak di sana, melainkan di pameran lain enam tahun setelahnya.


Tahun 2017, Amenk berpameran lagi. Dalam sebuah sudut ruangan, saya mengamati berbagai instalasi bercoretan tinta cina. 


Di Selasar Sunaryo Art Space tahun 2017, Amenk pamerkan karya mix media. Ada buku berukuran segenggaman tangan. 


Isinya tulisan yang entah masuk kategori apa. Kalau pun disebut puisi barangkali bisa saja, tapi yang jelas banyak coretan.


Di angka 44 Amenk tutup usia dan dia mewariskan beberapa hal yang bahkan bisa diteruskan bukan hanya oleh seniman. Saya menulis potongan lirik lagu Koil berjudul Ini Semua Hanyalah Fashion di bagian belakang sebuah outer. 


Rupanya ada typo sehingga pada akhirnya secara sadar saya merujuk ke cara Amenk berkarya, yang justru sengaja bikin typo. Dia mungkin belum pernah mengungkapkan ini, tapi karyanya berkata bahwa kesalahan adalah seni. []



Saturday, June 22, 2024

Membaca Makna Joko Anwar's Nightmares and Daydreams

 
Joko Anwar's Nightmares and Daydreams (2024) adalah kisah tentang pertentangan kelas sosial. Fiksi sains, thriller, hingga gore horror jadi pembungkusnya.

Dalam serial yang pertama kali tayang sejak 14 Juni ini, penghuni kelas ekonomi marjinal jadi tokoh utama dalam lima dari tujuh episode. Dua lainnya menggambarkan kelas menengah yang pada akhirnya bersatu dengan kaum miskin tadi untuk melawan golongan super berkuasa.

Episode pertama yang berjudul Old House berkisah tentang seorang sopir taksi bernama Panji. Suatu hari tokoh yang dimainkan Ario Bayu ini mengantar perawat panti jompo yang dihuni para orang kaya. Anehnya, pengelola rumah besar itu menerima klien baru secara cuma-cuma.

Panji dan istrinya meninggalkan ibu mereka yang pikun di panti jompo tadi untuk menghindarkan putra mereka dari bahaya. Ayah satu anak itu lantas menyesal dan berusaha menjemput sang ibu.

Setelah masuk sembunyi-sembunyi, Panji melawan kekuatan yang mengeksploitasi masa muda. Sejenis makhluk aneh berjari empat menghisap vitalitas kaum miskin demi keabadian sang kaya. Itu pertentangan kelas pertama.

Episode kedua berjudul The Orphan, bercerita tentang pasangan pemulung Iyos dan Ipah. Diperankan oleh Yoga Pratama dan Nirina Zubir, mereka berjuang untuk keluar dari jerat kemiskinan melalui kejadian mistik: mengadopsi anak ajaib berjari empat.

Dalam satu adegan, Ipah diusir dari dalam restoran mewah yang menunya ingin dia cicipi. Benturan kelas sosial memang nampak di sana, tapi episode ini terasa lebih menekankan keserakahan.

“Greed is good” kata ekonom. Episode The Orphan lantas menunjukkan batasannya.

Episode ketiga berjudul Poems and Pains mengenalkan nama bagi kaum berkuasa melalui sebuah kata yang lebih mudah diterima dibanding mengenalkan mereka kepada penonton sebagai oligark: agarthan. Tokoh Rania yang diperankan Marissa Anita bisa berpindah badan. Gambaran kota tempat mereka berasal tergambar saat dia merasuki Adrian.

Meski episode tiga menampilkan Agarthan dalam wujud serupa manusia, episode setelahnya hanya tampak melalui pengerahan aparat. Berlatar di Jakarta Utara tahun 1985, Agartha sebagai sebuah “nafsu mengeksploitasi” pada akhirnya melahirkan “antibodi”, entitas yang dipilih “supreme being” untuk menjaga kemanusiaan.

Tahun 1997 terjadi resesi ekonomi. Seorang mantan petugas karcis bioskop bernama Bandi berjuang untuk bertahan hidup di sebuah rumah susun bersama istrinya, Dewi.

Memerankan Bandi yang terjebak dalam sebuah mesin waktu, Kiki Narendra bak Jack Nicholson yang hadir ke pesta di ballroom hotel Overlook dalam film The Shining. Kurun yang baginya terasa beberapa jam ternyata berlangsung selama dua tahun. 

Adegan itu bisa jadi mengacu ke “penghisapan” yang dikendalikan kaum super kaya alias agarthan. Istri Bandi sendiri menyaksikan itu meski gagal menyelamatkan sang suami.

Pada akhirnya Dewi yang diperankan Sita Nursanti menjadi oposan agarthan. Ia punya kekuatan khusus, sebagaimana terlihat dalam episode keenam berjudul Hypnotized. 

Dewi dan kelompoknya merekrut Ali, seorang teknisi elektronik yang buta warna. Kesulitan finansial akibat kelainan itu, membuat Istri Ali yang diperankan Poppy Sovia mencuri dari supermarket. 

Pada pangkal kisah, sosok yang diperankan Fachri Albar ini lolos proses seleksi Dewi karena dia berhasil “ambil kendali”. Salah satu kendali itu: menentang tindakan pencurian oleh Ningsih.

Di penghujung episode berjudul PO BOX, kekuasaan agarthan ditunjukkan melalui kuasanya menghilangkan manusia. Haydar Salishz yang memerankan Adrian tampil lagi sebagai agarthan berkedok menteri.

Bersama kawanannya, ia hendak menyantap mata Valdya, calon antibodi baru. Ini metafora untuk sebuah tindakan eksploitasi.

Beruntung rombongan antibodi datang menyelamatkan. Kaum miskin superpower pada akhirnya bertarung melawan golongan berkuasa, secara harfiah.

Secara kiasan, pertarungan proletar dan borjuis akan berlanjut di season 2 setelah anggota antibodi terakhir yang diperankan Asmara Abigail mau bergabung dan berujar: “let’s kick their ass”.[]


Sunday, May 5, 2024

There Are No Happy War Stories

 A UK based journal indexing site, Connecting Repositories (CORE) cites that "More than 90% of consumers have trust on the product or service which is commended by directly knowing people." It is somehow true in my latest case of deciding to watch Civil War.


I watched the movie as a result of a sudden decision which emerged from a casual conversation with Dian. The video journalist said that she was impressed by how relevant the title was. 


Civil War tells about four journalists who are trying to reach Washington DC. The US President apparently hasn't had any press statement for 14 months long in the midst of a running chaos in the country. Hence, a team consisting of a reporter, two photographers and a senior writer try to interview the national leader.


As a presidential palace journo, she might feel some closeness to the issue. Hence Dian recommended Addin who's also stationed at the same post. Eventually, I sat beside him and eavesdropped on her recommendation.


Hours later, I was standing at a train to go back home when my YouTube algorithm recommended me to a movie review. The reviewer praised Civil War as a perfect film with impressive sound mixing as well as good storytelling. As soon as the video reached its middle part I jumped out of the train and reached the nearest cinema.


The decision to watch Civil War at a cinema was a good choice. I really enjoyed every aspect of the movie. 


I got that emotional feeling when witnessing a tragic moment of a burning human. On another part of the 109 minute duration I can't help myself to not to throw a curse as the sound of a shooting gun is suddenly heard. 


Above all, the storyline highlights how war results in a cathastrope. According to the words spoken by Indonesia's Minister of Foreign Affairs, Retno Marsudi, in the 29 April edition of Tempo Magazine, "there are no happy war stories". []