Koran Kompas hari minggu adalah favorit saya. Bahkan edisi berminggu-minggu
yang lalu, akan tetap saya simpan fisiknya kalau memang belum dibaca atau
kontennya berkesan. Contohnya yang saya sobek dan simpan dari tanggal 13 Mei
lalu. Ada artikel berjudul Akhiri Perseteruan Tiga Abad. Tulisan buatan
Muhammad Ikhsan Mahar dan Edna C. Pattisina ini berujung pada kesimpulan bahwa
konflik masa lalu bisa dihadirkan lagi demi jadi alat politik. Dan kita musti
waspada.
Kisah di artikel itu bertarikh tahun 1666 hingga 1669,
ketika Perang Makassar pecah. Musababnya, seorang bangsawan kerajaan Bone bernama
Arung Palaka. Ketika itu keturunan Bone berada di bawah pengaruh kerajaan Gowa,
meski sebenarnya bangsawan Gowa memperlakukan pemilik darah biru dari Bone dengan
baik. Ia merasa siri dan pesse atau perasaan harga diri dan rasa malunya
terusik akibat bangsawan Bone diminta ikut menggali parit untuk melindungi
kerajaan Gowa dari kolonialis VOC—sumber lain menyatakan bahwa Arung Palaka
dari Bone marah karena pihak Gowa melanggar perjanjian untuk saling memuliakan.
Singkat kisah, pemberontakan Arung Palaka ditumpangi pihak
ketiga tadi. VOC melalui Cornelis Speelman, ingin mengambil alih benteng Sumba
Opu. Misi itu kemudian terwujud. Sultan Hasanuddin melepas tahta. Meski demikian,
setelahnya Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka justru membuang dendam. Itu terbukti
dengan makam Arung Palaka yang lokasinya tidak jauh dari pusara Sultan
Hasanuddin. Antropolog Unhas, Tasrifin Tahara, menyimpulkan konflik sudah
selesai secara kultural.
Sekitar 350 tahun terlewati sejak Perang Makassar, sebuah
unggahan menyerukan ajakan untuk menghancurkan patung Arung Palaka dan
membongkar makamnya, karena ia dinilai sebagai pemberontak. Padahal menurut
pengajar Ilmu Sejarah di Unhas, Amrullah Amir, “tidak tepat menyebut sosok
pengkhianat yang dikaitkan dengan bangsa Indonesia karena abad ke-17 konsep
negara Indonesia belum ada.”
Kisah Arung Palaka dan Sultan Hasanuddin dalam artikel di rubrik
Politik dan Hukum tadi, sebenarnya menyuarakan sebuah peringatan yang tidak
hanya berlaku bagi suku bangsa di Sulawesi Selatan, tapi juga di wilayah
Indonesia lain yang memang sudah ditaktirkan bermula dari banyak kerajaan yang
(beberapa) pernah saling berkonflik.
“Tampaknya, tambah Tafsirin, konflik pada masa lalu akan dimanfaatkan generasi kini untuk mengagungkan ketokohan keduanya sebagai representasi etnis Bugis dan Makassar. Di pertarungan politik, misalnya, persaingan calon kepala daerah akan mengerucut pada persaingan antartokoh kedua etnis.” []
No comments:
Post a Comment