Sekitar seminggu sebelum Aksara lahir, saya dan Windi nonton
sebuah film. Judulnya Sunya. Film ini diputar di sebuah bioskop bernama Kinosaurus di kawasan
Kemang Jakarta. Untuk masuk ke sana, kita harus melewati toko buku Aksara. Dari
situlah ide nama anak kami lahir. Meski di awal saya bicara soal Aksara, tulisan
ini bukan tentang dia, melainkan Sunya dan buku berjudul Kumpulan Budak Setan.
Sunya
Film Sunya dibuat oleh sutradara Hary Dagoe Suharyadi. Itu pengalaman
pertama saya nonton film sineas yang ternyata sudah buat film sejak lama dan karyanya
diputar di festival film internasional. Misalnya film Happy Ending yang tayang
di Toronto World Wide Film Festival 1996 di Kanada—dan ditampilkan juga pada momen
penayangan Sunya di Kinosaurus waktu itu.
Sunya berkisah tentang seorang pria bernama Bejo, yang
mencari tahu penyebab neneknya sulit meninggal dan harus menahan sakit di usia tua.
Bejo kemudian menelusuri penyebabnya, dan ternyata berkaitan dengan masa lalu
Bejo.
Meski tampak sederhana, alur kisah film ini sebenarnya
kompleks. Banyak tampilan simbolik semacam tarian, renungan, hingga adegan
panas. Bahkan aktrisnya, mengaku nggak ngerti film itu tentang apa.
"Ini pertama kalinya saya nonton film ini. Sebelumnya deg-degan dengan hasilnya, karena saya aslinya bukan aktris, tapi penari. Tapi setelah menonton, saya malah makin nggak ngerti apa maksud film ini," ujar Astri sambil tertawa malu. (Liputan6.com)
Saya duga, dia nggak baca cerpen yang jadi inspirasi film ini
dibuat. Sunya disadur dari salah satu kisah di buku Kumpulan Budak Setan
berjudul Jimat Sero buatan Eka Kurniawan. Titel keempat dari 12 cerita di dalam
buku itu, punya garis merah serupa. Jika Bejo di Sunya seorang pemuda desa, di
Jimat Sero, tokoh utama—yang berkisah dengan subjek “aku”—seorang eksekutif
dengan karir cemerlang plus pacar anak bos bernama Raisa.
Selebihnya, rasanya kisah Jimat Sero dan Sunya sama. Rohman
menitipkan jimat ke Bejo, lalu jimat itu jadi semacam kunci agar Bejo dan
Rohman saling terhubung. Dan itu pula yang terjadi dengan nenek Bejo, kakek
Bejo dan ayah Rohman.
Kumpulan Budak Setan
Selain Jimat Sero, kisah-kisah di buku Kumpulan Budak Setan
juga menghimpun hasil imajinasi lain Eka Kurniawan. Intan Paramaditha dan
Ugoran Prasad juga bergabung dengan Eka untuk proyek yang diinisiasi tahun 2009
ini. Masing-masing penulis mengarang 4 cerita yang mengandung unsur lendir dan mistik.
Dan fiksi-fiksi ini, ode buat Abdullah Harahap. Siapa Abdullah Harahap? Bab pertama
buku ini menjelaskannya.
Ia menulis novel horor “picisan”, diramu dengan seks, di tahun 1970-1980-an. Anda dapat menemukan novelnya saat berjalan-jalan di toko buku kecil , pasar loak atau stasiun kereta. Status “picisan” Abdullah Harahap mencerminkan status genre horror yang identik dengan estetika rendah dan karenanya berada di luar khazanah sastra. (Hal. x)
Trio pengarang Kumpulan Budak Setan, terasa punya ciri khas
nuansa cerita berbeda. Goyang Penasaran buatan Intan dan Topeng Darah bikinan
Ugo, terasa paling vulgar. Istri saya sampai mengernyit ketika dibacakan satu
dua kalimat. Sementara Eka, terasa seperti dengan sengaja menempatkan klimaks
di akhir cerita. Dan itu seru. []
No comments:
Post a Comment