Akhirnya, film yang paling kami tunggu-tunggu sepanjang 2016, tayang juga. Waktu nonton Ngenest kami puas sih. Jadi ketika Ernest Prakasa mau bikin Cek Toko Sebelah, kami ga sabar nonton. Dan memang seru. Film dimulai dengan perkenalan toko dan para tokoh di sekitarnya. Ada Afuk sang juragan toko sembako—diperankan secara apik oleh aktor Malaysia Chew Kin Wah. Dia punya anak bungsu namanya Erwin (Ernest Prakasa), seorang karyawan perusahaan multinasional dengan karir bagus. Anak sulungnya Yohan (Dion Wiyoko). Dia beda sama adiknya karena alasan yang akan kita tahu di sepanjang film. Ketika Yohan pinjam uang ayahnya dan berjanji mengembalikan, kata Afuk “ga usah janji kalau gak yakin bisa nepatin.”
Bagi saya, ini bukan adegan asing. Di dalam blognya, Ernest pernah berkisah tentang dia waktu masih kecil. Kala itu, ia pernah rewel dan dijanjikan ibunya akan dibelikan sesuatu kalau Ernest kecil berhenti merengek. Ernest menurut, tapi hadiah yang dijanjikan nggak dikasih. Di situlah ayahnya menegur sang ibu. Saya masih ingat kata-katanya: “setiap perkataan adalah janji.” Dialog di atas, saya yakin cara Ernest membumikan momen penting itu. Nilai-nilai kekeluargaan memang kental terlihat di film berdurasi hampir dua jam itu.
Di akhir film, Ernest bahkan berfoto bareng dan mencantumkan kredit khusus bagi kedua orang tuanya. Tema ini membuat Cek Toko Sebelah dekat dengan semua orang. Siapa sih yang nggak punya kedekatan dengan ibu. Apalagi ketika dia udah nggak ada. Jadinya, momen ini paling menyentuh. Terus, siap-siaplah buat emosi kita dikocok. Dari momen sedih adegan lucu langsung dateng. Dan sekali lagi, itu juga dekat dengan kita. Dengan kami sih khususnya. Haha. Misalnya adegan ini. Suatu ketika, Ayu—istri Yohan yang diperankan brilian oleh Adinia Wirasti—bikin kue nastar. Ternyata kuenya pedes. Adegan ini baru saya alami. Ceritanya Windi bikinin pisang goreng. Ternyata pisang gorengnya pedas. Saya juga heran saat itu kenapa pedas, dan gak protes. Haha. Baru saat nonton itu saya tanya ke Windi. Ketauanlah bahwa ternyata bumbu bala-bala yang sebelumnya dia masak, kecampur. Pantesan. Haha.
Yang juga kami nikmati dari film ini, dialognya. Semuanya terasa natural. Mereka seperti (atau nampaknya memang) menjadi diri mereka sendiri. Coba simak pembicaraan ketika Yohan dan teman-temannya lagi main kartu. Pembicaraan di atas meja ini mengalir lembut. Tanpa bermaksud mendikte penonton, dialognya berhasil mengungkap informasi bahwa Yohan DO dari universitasnya. Dia juga pernah “magang” di penjara. Kalau kata istilah mata pelajaran Bahasa Indonesia-nya mah, koherensi antar kalimatnya bagus. Dan bagi orang yang ngerti etika penyusunan gambar, koherensi antar gambar juga bagus. Di sini peran Cesa David Luckmansyah sang video editor perlu diapresiasi, meski ada satu sekuen yang menurut saya bisa lebih smooth (peralihan dari kisah perkenalan Afuk dengan tablet PC). Tapi toh itu pilihan kreatornya. No problemo.
Terakhir, saya membaca Cek Toko Sebelah ini sarat simbol. Sindiran lah. Misalnya tentang toko sembako menolak menjual lahan. Atau becerminlah di cerita kawanan main kartu Yohan yang memasang nukilan ayat suci dan berdoa sebelum berjudi. Ketika kita tertawa, sebenarnya kita menertawai diri sendiri. Sadar atau tidak. Tapi toh kata Charlie Chaplin, hidup itu memang komedi kok, andai kita melihat sebuah fenomena dalam pandangan menyeluruh. Tapi hidup juga tragedi, jika kita melihatnya dalam tatapan close up. Ah sudahlah, saya mulai sok serius. []
* Sebenarnya tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini tahun lalu
No comments:
Post a Comment