Suatu hari di tahun 2016, ada film berjudul Istirahatlah
Kata-Kata. Film ini bercerita tentang hari-hari di masa pelarian Wiji Thukul.
Thukul dikenal sebagai seorang penyair. Puisinya dikenal dengan gaya bernama
puisi pamflet—isinya menyampaikan pesan perlawanan. Dan jenis puisi demikian
ditakuti rezim. Singkat kisah, banyak aktivis yang terinspirasi karyanya dan
menggulirkan reformasi. Wiji lalu dicari—terutama setelah dia dituduh terlibat
peristiwa penyerangan kantor PDI tanggal 27 Juli 1996. Sampai sekarang, tidak
ada informasi pasti tentang nasib Wiji.
Dua tahun setelah muncul Istirahatlah Kata-Kata, sebuah film
dokumenter dirilis: Nyanyian Akar Rumput. Judul ini diambil dari buku kumpulan
puisi yang dirilis tahun 2014. Film besutan Yuda Kurniawan ini, kemudian meraih
penghargaan film dokumenter terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2018. Pada
akhirnya, saat inilah kita bisa menyaksikan Nyanyian Akar Rumput di bioskop:
dua tahun setelah dipublikasikan.
Di satu sisi, film Istirahatlah Kata-Kata—secara
interpretatif—memperlihatkan bagaimana Wiji melawan rasa rindu keluarganya.
Dalam sebuah adegan, diperlihatkan merananya Thukul melihat seorang anak bayi
menangis ketika mati lampu di Kalimantan. Ketika itu pula Fajar Merah si bungsu
berusia sebaya anak itu. Dalam adegan lain, Sipon sang istri juga bergelut
dengan stigma. Hingga akhirnya, hari ini pencarian kepastian nasib Wiji belum juga berakhir.
Di sisi lain, film Nyanyian Akar Rumput menampilkan
bagaimana Fajar Merah dan keluarganya, hidup tanpa Wiji Thukul. Seperti yang
dikisahkan sang kakak, Fitri Nganti Wani, semula Fajar tidak suka dibandingkan
atau dikait-kaitkan dengan sang ayah. Baginya, ada yang tidak beres dengan
kondisi keluarganya. Dan itu karena ayahnya tidak ada. Belakangan, Fajar
mengenal musik—banyak simbol musikal tampil dalam identitas Fajar: dari kaos
band dan majalah musik, hingga biografi musisi. Tak dinyana, idolanya dalam
bermusik justru menggemari sang bapak. Maka, Fajar kemudian mendalami puisi-puisi
Wiji, bahkan menyanyikannya bersama band bernama: Merah Bercerita.
Merah Bercerita beranggotakan empat personel—sementara di
akun Spotify-nya, tampak tiga tersisa—dan satu orang manager. Eksplorasi musik
mereka lahir dari kamar Fajar.
Kadang, Sipon sang ibu
memberi masukan ide.
Kala lain, kakak Fajar
juga ambil bagian.
Dan setiap saat, semangat
Wiji selalu menyertai.
Dalam satu momen di kuarter akhir film, paman Fajar, Wahyu
Susilo berpendapat bahwa musikalisasi puisi memberi energi yang memberi semacam
nyawa tersendiri bagi puisi sang adik.
Menyaksikan Nyanyian Akar Rumput, juga terasa seperti
menyaksikan film tentang pertunjukan musik. Sejumlah lagu ditampilan tanpa
jeda. Bahkan, lagu bertajuk Derita Sampai ke Leher mengalun dua kali: di studio
rekaman dan di panggung—sebagai lagu penutup film. Momen akhir itulah yang
paling impresif. Fajar dan rekan musikalnya mewarnai tubuh mereka dengan cat.
Lalu, Fitri datang membacakan puisi. Emosional.
Selain penampilan tadi, sejumlah dokumentasi video di awal
masa reformasi juga ditunjukkan. Momen ketika Wiji Thukul dinobatkan sebagai
penerima Yap Thiam Hien tahun 2002, terasa paling sentimental. Tampak Fajar
belum begitu paham apa yang sebenarnya terjadi. Sipon, sempat berupaya tegar
ketika menjawab pertanyaan wartawan. Meski akhirnya, ia ambruk.
Hari ini—setelah sekitar 10 hari—Nyanyian Akar Rumput
berhenti tayang. Momen sinematik itu pada akhirnya jadi perwujudan nubuwat Wiji
Thukul dalam puisinya, Kebenaran Akan Terus Hidup: Aku akan tetap ada dan
berlipat ganda. Film ini juga jadi pengingat untuk penuntasan kasus pelanggaran
HAM--pembunuhan oleh aparat dan penghilangan paksa. Karena jika tuntatan pengadilan terus disuarakan dan digelar, bukan tidak
mungkin kata penutup puisi yang sama jadi nyata: Kebenaran takkan mati. []