Tahukah kamu, bahwa dalam proses persidangan di Amerika Serikat, hakim dibantu oleh juri. Sejak tahun 1898, Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa dewan juri harus terdiri dari setidaknya 12 orang. Mereka nantinya berdiskusi untuk memberikan masukan putusan kepada hakim sehingga putusan hakim benar-benar tepat. Para anggota juri adalah warga yang tinggal di daerah yurisdiksi pengadilan. Mereka memantau jalannya sidang sejak awal. Semua keterangan saksi, tuntutan jaksa dan pembelaan pengacara juga disimak untuk jadi bekal mereka merumuskan rekomendasi kepada hakim. Sebuah rekomendasi tim juri baru bisa diputuskan jika semua anggota setuju atas sebuah pendapat. Pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa angka 12 orang juri tersebut adalah kecelakaan sejarah, sehingga selanjutnya jumlah juri hanya 6 orang agar pengambilan keputusan lebih efektif dan efisien. Tantangan untuk bersatu suara dalam sebuah tim juri, tergambar menarik di film rilisan tahun 1957 berjudul 12 Angry Men.
Twelve Angry Men berkisah tentang perdebatan tim juri untuk memutuskan apakah mereka akan merekomendasikan ke hakim bahwa seorang pria 18 tahun benar-benar bersalah atas pembunuhan ayahnya. Jika mereka merekomendasikan bahwa anak itu memang bersalah, maka ia lebih rentan berakhir di kursi listrik untuk dihukum mati. Pengambilan keputusan tersebut sangat penting karena selain menentukan hidup atau matinya seseorang, terpidana yang dibincangkan ini usianya masih muda, meski pun memang sudah cukup dewasa. Saya jadi ingat kasus Yusman Telaumbanua, seorang terpidana mati pembunuhan asal Nias, Sumatera Utara. Ada simpang siur tentang usia Yusman. Sebuah dokumen menyatakan bahwa ia divonis mati ketika masih berstatus anak-anak. Sementara data lain justru menunjukkan bahwa usianya sudah 18 tahun ketika divonis, sehingga putusan itu wajar karena Yusman sudah dewasa. Baiklah kita lupakan dulu kisah Yusman.
Di film 12 Angry Men, alkisah sebuah pemungutan suara digelar. Sebelas dari dua belas orang juri sepakat bahwa si anak bersalah. Dasarnya, si anak adalah korban perceraian dan tinggal di daerah kumuh, sehingga stigma negatif atas dirinya kemudian melekat. Selain itu semua keterangan saksi di persidangan juga menguatkan dugaan bahwa si anak itulah yang membunuh ayahnya sendiri. Namun, ada seorang juri yang berbeda pendapat. Ia tak yakin bahwa si anak bersalah atas kematian ayahnya. Selama sekitar satu setengah jam, film ini kemudian bergulir mengisahkan perubahan keputusan bahwa si anak tak bersalah. Dari awalnya cuma satu orang, sampai semua setuju dengan pendapat itu berdasarkan fakta dan analisa yang didiskusikan bersama. Meski hanya berlatar suasana sebuah ruangan berisi meja dan kursi, film ini tetap menarik. Apalagi relevan dengan kondisi kekinian di jagat pemberitaan Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung RI mengeksekusi mati sejumlah terpidana mati kasus narkoba. Pada menit-menit terakhir, seorang terpidana bebas dari vonis tersebut. Saya jadi membayangkan, jangan-jangan suasana penundaan eksekusi Mary Jane Fiesta Veloso sedemikian sengit juga. Lalu benarkah Mary Jane layak selamat karena dia "cuma" kurier dan korban perdagangan manusia? Saya akan coba paparkan informasi yang sejauh ini saya ketahui.
Mary Jane Fiesta Veloso tertangkap membawa 2,6 kilogram sabu ketika "berlibur" di Yogyakarta. Barang haram yang dibawanya terdeteksi petugas bea cukai bandara Adi Sucipto. Enam bulan kemudian, wanita wanita asal Filipina ini divonis mati. Semua upaya hukum untuk meringankan vonisnya tak mampu membuat putusan itu berubah. Pada menit-menit terakhir ekskusi matinya, Mary Jane selamat. Vonisnya ditangguhkan karena keterangan Mary Jane diperlukan untuk mengungkap kasus perdagangan manusia yang diduga melibatkannya. Anehnya (atau uniknya), pembatalan vonis mati itu terjadi setelah penyerahandirian seorang bernama Maria Kristina Sergio yang mengaku orang di balik nasib sial yang menimpa Mary Jane. Benarkah Mary Jane Veloso korban perdagangan manusia? Betulkah ia "cuma" kurir dalam kasus penyelundupan narkoba itu? Layakkah Mary Jane tak dihukum mati? Mari kita cermati fakta-fakta berikut ini.
Sebelum tertangkap di Yogyakarta, Mary Jane bekerja di Malaysia. Maria Kristina Sergio-lah yang menawari Jane bekerja di Malaysia dan mengantarkan sebuah barang ke Yogyakarta. Setahun sebelumnya, ibu dua anak ini bekerja di Dubai. Di sana, ia jadi korban kekerasan seksual. Sebulan setelah dirawat di rumah sakit di Dubai, ia kembali ke Esguerra, Filipina. Bersama Michael Candelaria, suaminya, Mary Jane membeli becak motor dan menjual perabot rumah tangga. Sayangnya usaha itu cuma bertahan dua bulan. Jane kemudian ditawari tetangganya, Maria Kristina Sergio untuk bekerja di Malaysia. Pada 21 April 2010, mereka pun tiba di Malaysia. Tiga hari setelahnya, Mary diminta pergi ke Yogyakarta untuk memberikan sebuah tas kepada kepada seseorang bernama Ibon. Setibanya di bandara Adi Sucipto itulah, tas yang dibawa Mary Jane ternyata berisi 2,6 kilogram sabu.
Mary Jane kemudian menempuh jalur hukum agar dirinya bebas. Ternyata selama proses persidangan itu, Jane yang hanya bisa berbahasa tagalog (saat diwawancara Metro TV pasca hukuman matinya ditunda, Jane sudah bisa berbahasa Indonesia) didampingi penerjemah bahasa inggris (saya juga heran apa benar ini terjadi?). Dengan demikian, penyesalan Jane di hadapan hakim malah ditafsirkan pengakuan wanita 44 tahun itu atas barang haram yang dibawanya. Pemerintah Filipina pun baru mendampingi Jane saat ia menempuh peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Di bagian lain tempat Mary Jane tertangkap tangan menyelundupkan narkoba, Maria Kristina kembali ke Filipina. Ia berjanji kepada keluarga Veloso untuk mengganti kerugian finansial akibat keterlibatan Jane dalam kasus narkoba yang disulutnya. Namun nyatanya, janji itu tak pernah menjadi nyata. Malah ia melanjutkan perekrutan pekerja migran lain di daerah tinggalnya. Entah apa yang lalu mengubah jalan pikiran di otak Maria Kristina, menjelang eksekusi mati Mary Jane dilaksanakan, ia menyerahkan diri ke polisi di Filipina. Presiden Filipina pun langsung berkomunikasi dengan presiden Indonesia agar eksekusi mati terhadap Jane ditahan karena keterangannya diperlukan untuk mengusut kasus perdagangan manusia.
Kalau kita berpatokan ke kronologi di atas, nampaknya memang sepertinya Jane cuma korban. Tapi kenapa protes hukuman matinya baru dilakukan sekarang? Bukan ketika proses hukum masih berjalan? Itu juga pertanyaan yang diakui ditanyakan Jokowi, bahkan ke presiden Filipina-nya langsung. Tunggu, jangan-jangan Mary Jane cuma mengaku korban. Toh kata Sutarto Tri Antoro, petugas bea cukai yang memeriksa tas Mary Jane saat pertama kali ia tertangkap, ia kooperatif dan terkesan seperti memang tak mengetahui bahwa tasnya berisi sabu. Tapi, menurut orang yang sama, gelagat itu memang prosedur standar para penyelundup narkoba.
Sekarang mari kita simak analisa kepribadian seorang Mary Jane Veloso menurut ilmu grafologi. Grafologi adalah ilmu membaca karatker seseorang berdasarkan tulisan tangannya. Berdasarkan analisa grafolog Deborah Dewi, Mary Jane tak sebaik yang dicitrakan. Bahkan anggota American Handwriting Analysis Foundation ini berani bertaruh pensiun dari profesinya sebagai grafolog. Menurutnya, jika Mary Jane dibebaskan dan selama tulisan tangannya masih sama seperti ketika ia menulis surat permintaan pengampunan hukuman mati, ia bisa 10 kali lebih gila pergerakannya. Kata Debo, Mary Jane adalah seorang dangerous trouble maker. Berdasarkan analisa tulisan tangannya, ia memiliki kemampuan kontrol moral yang rendah. Artinya, ia berpikir yang penting senang dulu, urusan moral belakangan.
Nah, menurut kamu apakah Mary Jane layak mendapat pembebasan? Atau tetap divonis tapi bukan dimatikan? Apa pun itu, semoga keputusan pemerintah Indonesia benar-benar berdasarkan fakta dan analisa yang tepat. Tapi sejauh ini sih, jaksa agung masih bilang bahwa vonis mati Mary Jane bukan dibatalkan, tapi diundur. Kita tunggu kelanjutan kisahnya. [rhezaardiansyah]
No comments:
Post a Comment