Saturday, October 3, 2020

Dilema Sosial

Pagi ini saya papasan sama petugas renovasi rumah tetangga. Turun dari motor, dia lanjut menyesap rokok yang udah nyala sejak kendaraannya belum dimatikan. Kepada istri yang lagi jalan bareng, saya cerita bahwa momen adiksi kuli tadi ngingetin ke film yang baru-baru ini saya tonton: The Social Dilemma. 

Film produksi Netflix ini memaparkan analisa bahwa sosialisasi di media sosial ternyata bikin kita asosial. Kebanyakan narasumber yang muncul selama hampir dua jam durasi: mantan eksekutif perusahaan digital besar. Sesekali, kutipan pernyataan menyelingi paparan mereka. Salah satu yang saya ingat: 

Hanya ada dua industri yang pakai kata “user” ke konsumennya: drugs and social media. 

Dalam dokumenter ini, media sosial memang diposisikan serupa candu—dan tentu saja industri. Untuk mempermudah pemahaman penonton, ada ilustrasi yang memperkuat pemaparan para narasumber. Dalam ilustrasi ini, sebuah keluarga menghadapi keseharian di tengah adiksi media sosial. Orang tua berusaha bikin disiplin, si anak nggak bisa nahan pegang handphone. Pada akhirnya anak remaja ini menggantungkan penerimaan terhadap diri sendiri, berdasarkan respon orang atas citra yang dia tampilkan di media sosial. 

Balik lagi ke renungan saya soal rokok tadi. Tembakau hisap itu bikin kecanduan seseorang, sehingga dia jadi konsumtif (atas produk rokok itu). Ketika konsumtif, kebanyakan orang akan berhenti di sana. Di lain pihak, adiksi media sosial bikin kita jadi konsumen sekaligus produsen. Dalam sudut pandang tertentu, bisa dibilang kita sebenarnya ikut sekalian “bekerja” buat si perusahaan media sosial. Tanpa dibayar. Kalau belum nyampe level influencer yang postingnya dibayar, netizen macam ini bisa dibilang buruh gratisan.

Meskipun kesan distopia terasa dominan, toh kita sama-sama mafhum juga bahwa media sosial punya manfaat yang nggak kalah besar. Rokok aja bermanfaat kok. Setidaknya bagi ahli hisap yang merasa pikirannya lebih “plong”. Kadang sosial media bikin “nyesek”, ketika dia jadi bahan perbandingan antara hidup bahagia orang lain dengan hidup kita. Di sisi sebaliknya, barangkali justru itu jadi sumber motivasi. Dan motivasi itulah yang bikin hidup kita makin hidup. Kamu setuju nggak? []  

No comments:

Post a Comment