Friday, January 1, 2021

Yes

Film terakhir yang saya tonton tahun 2020 berasal dari tahun 2008, judulnya Yes Man. Dibintangi Jim Carrey, drama komedi ini berkisah tentang seorang bankir yang bosan dengan kesehariannya. Suatu ketika, pria bernama Carl ini bertemu dengan seorang kawan lama. Si sohib ini menawarkan sebuah seminar motivasional. SIngkat kisah, Carl ikutan. Di acara itu, peserta disemangati untuk selalu bilang “yes” ke semua pertanyaan.


Sepanjang film, kita disajikan lawakan khas Jim Carrey yang ekspresif, konyol dan nelongso. Di awal, pilihan untuk mengikuti arahan si motivator, ternyata berbuah sial. Ada tunawisma minta tumpangan, dia kasih. Si tunawisma pinjam ponsel, dikasih juga. Uangnya diminta si tunawisma, Carl bilang “yes”. Alhasil, dia repot sendiri ketika dia butuh semua itu. Tanpa Carl sadari, ada keuntungan yang dia nikmati sendiri dari runtutan kata “yes” tadi.


Saya tertarik nonton ini karena dengar impresi Mizter Popo, salah seorang podcaster pembimbing kelas podcast Siberkreasi yang saya ikuti. Katanya, film ini sama berpengaruhnya dengan film The Secret Life of Walter Mitty—kisah petualangan seorang petugas arsip foto. Podcaster yang terkenal lewat kisah horornya itu memang punya pengalaman personal soal film Yes Man. Katanya, gara-gara bilang “yes” ke banyak hal, dia justru jadi punya akses ke berbagai kesempatan, termasuk terkenal sebagai podcaster kayak sekarang. 


Saya sendiri pernah punya pengalaman unik soal kata “yes”. Sumbernya bukan film ini, melainkan kutipan kalimat dari Richard Branson. Pengusaha pemilik kelompok usaha Virgin itu pernah bilang, bahwa jika kita diminta melakukan sesuatu padahal kita nggak bisa melakukannya, kayakan “yes”. Lantas belajarlah melakukan hal baru itu sembari praktik. Terdengar mudah. Nyatanya, nggak semulus itu juga. Haha.


Nasib saya di percobaan pertama, berbanding terbalik dengan kesuksesan Mizter Popo. Sementara pria bernama Rizky Ardi Nugroho itu melejit dari kegiatan isengnya, saya malah mendapat kesan kurang memuaskan ketika mengamalkan arahan Pak Branson. Saya malah jadi inget quote lain: “leadership is the art of saying no”.


Intinya, saya menangkap kesan bahwa Yes Man mendorong penontonnya untuk terbuka dengan hal baru. Sambil tentu saja mempertimbangkan konsekuensi dari kata “yes” atas pertanyaan tertentu. Meskipun, dalam kasus film Yes Man, susah juga memperkirakan bahwa skill berbahasa Korea, menerbangkan pesawat sampai memiliki nama Carl (bukan Karl), ternyata bisa juga berujung masalah. Namanya juga film. [] 

No comments:

Post a Comment