Sunday, April 14, 2013

Menyelamatkan Musik Indie dari Penciptaan Kultur yang Pragmatis

Mereka menyebut musik ini sebagai musik indie. Ada yang mengatakan bahwa musik indie kini sudah menjadi sebuah genre musik tersendiri, sehingga mereka mengurai sebuah sistem alam semesta bernama musik yang terbagi menjadi beberapa galaksi bernama genre mulai dari pop, rock, jazz, klasik, blablabla dan lalu munculah genre indie. Album musik indie akan diberi rating tinggi di berbagai media musik dibandingkan dengan album-album musik mainstream. Dan orang yang mendengarkan musik indie lebih berkelas dibandingkan mendengarkan musik mainstream. Lalu apakah anda serius membaca paragraf ini? Baiklah, sebenarnya saya tidak serius menulis paragraf ini. Hal-hal berbau sok tahu diatas merupakan hasil pola pikir saya yang merupakan fusi dari naif dan pragmatis yang sampai sekarang diksi dari percampuran pola pikir tersebut mungkin belum dapat anda temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Sebenarnya alasan saya menulis paragraf di atas bermula pada saat saya menunggu angkot dalam perjalanan menuju kampus. Suatu hari saya melihat sekelompok anak berseragam SMA sedang mengamati poster sebuah pentas seni SMA lain yang akan diselenggarakan beberapa waktu kemudian. Sembari melihat poster tersebut, salah satu dari kelompok tersebut berkata “Kita dateng aja yuk, headline nya band indie bro, keren banget”. Menanggapi hal tersebut, dengan polosnya, siswa lain bertanya “Lah emang lu udah denger band nya kayak apa?”. “Belom sih bro, tapi kan yang indie-indie itu biasanya bagus dan keren. Udah gak jamannya kali denger yang mainstream-mainstream-an…”. Penasaran dengan pernyataan sang siswa tersebut, saya (yang kebetulan saja menguping pembicaraan mereka) sontak berkata dalam hati, wah bagus sekali sekarang musik indie sudah menjadi media dikotomi sosial dengan asosiasi yang cukup positif.

Padahal melihat dari sejarahnya, gerakan indie tidak didesain untuk kondisi demikian. Gerakan independen bermula pada tahun 50an dimana terdapat ketidakpuasan atas perlakuan major label terhadap kreatifitas musisi pada saat itu, yang memaksa para musisi tersebut untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan secara DIY. Mereka rentan untuk dipublikasikan secara masif dan memilih untuk berada di bawah permukaan. Kondisi yang terjadi pada saat itu kemudian memicu berbagai peristiwa penting pada skena musik lainnya, yang kemudian memicu peristiwa lain di kemudian hari. Seperti sebuah efek domino lebih tepatnya. Siapa yang lupa akan pergerakan Madchester Scene? Siapa yang lupa akan adanya pergerakan grunge? Siapa yang lupa akan pergerakan shoegaze? Atau yang lebih ekstrim, siapa yang lupa akan pergerakan punk? Movement tersebut merupakan sebuah bentuk asimilasi kreatifitas yang muncul akibat eksplorasi selama bertahun-tahun tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh publik. Pemberontak. Ya, mereka adalah pemberontak nilai-nilai estetika umum yang berlaku di masyarakat. Mereka lebih memilih untuk menciptakan sesuatu yang baru yang dapat memaksimalkan utilitas dalam bermusik, suatu cara untuk lebih mengaktualisasikan diri terhadap sesuatu yang mereka cintai pula terhadap kondisi sosial yang sedang dihadapi. Maka tak heran, apabila pada jaman baheula terdapat beberapa musisi yang lebih condong melakukan semuanya dengan cara menyimpang dalam bermusik, memiliki asosiasi negatif di mata masyarakat pada umumnya. Para musisi tersebut tak pernah merasa keren dengan mengelola musik secara indie, mereka hanya ingin kebebasan yang dilandasi etos “untuk apa menunggu apabila dapat menciptakan perubahan sendiri”.

Pergerakan dan kebebasan mungkin adalah tujuan utama yang ditawarkan dalam membuat musik indie. Namun sepertinya di Indonesia, gerakan musik indie malah justru dijadikan batu loncatan untuk menuju industri musik dengan pangsa pasar yang lebih luas. Ya, saya mengerti bahwa sebagai musisi mereka menginginkan masyarakat untuk mengenal musik dan saya berasumsi bahwa terdapat penyalahan penyerapan kata “indie” disini. Kata “indie” itu sendiri datang dengan nilai-nilai khusus yang membentuk kultur. Maka tak heran, penyalahan penyerapan makna tersebut merembet ke sistem sosial dan terjadilah disposisi dalam konteks sosial. Bagaimana tidak, sudah menjadi sebuah norma adaptif Indonesia bahwa pencitraan merupakan senjata yang ampuh agar dapat menyandang status sosial tertentu yang dipandang dari antar pelaku sosial lainnya. Dan sesuai ilmu sosiologi, media sosial yang dianggap efektif untuk mencitrakan sebuah kelompok sosial adalah melalui budaya, khususnya musik dalam konteks ini. Maka terciptalah istilah anak indie dibilang keren, yang mainstream dibilang cupu. Sebenarnya fenomena anak indie ini juga dapat terjadi karena mereka merasa musik mainstream Indonesia kini tak dapat dijadikan panutan yang baik, dan sedikit banyak, secara pribadi, saya setuju dengan hal tersebut. Namun ini bukan berarti mencari apa yang salah dan benar dalam bermusik, ini hanya masalah memilih berbagai pilihan dalam mengaktualisasikan konsep musik yang ada di alam kreatifitas masing-masing.

Kini indie hanyalah sebuah kedok belaka. Semua bangga menjadi musisi indie. Bukan karena sense of belonging-nya, tetapi karena semua ingin berlomba-lomba untuk mendapatkan status sebagai orang keren dengan melakukan atau mendengarkan musik indie. Pemberontakan-pemberontakan tersebut kini digadaikan demi mengejar sebuah status sosial yang fana. Menerima pergeseran makna indie sekarang tidak semudah menerima kenyataan bahwa Tom Gabel kini telah berubah menjadi wanita. Saya sangat berharap ada mukjizat untuk mengembalikan makna indie dan meregenerasi semangat yang terkandung di dalam kata tersebut. Selain itu, menjadi pelaku atau penikmat musik indie tak akan membuat anda lebih keren. Musik itu masalah subjektif, tak bisa dinilai dengan parameter absolut. Dan tidaklah pantas musik indie dijadikan alat dikotomi sosial. Bukankah musik seharusnya adalah media unifikasi? Sangat sulit memang untuk mengeluarkan konsep musik indie dari penciptaan budaya baru yang terkesan menghakimi, namun saya yakin kondisi ini dapat kita rubah dengan sebuah hal esensial bernama movement. Movement untuk tidak ikut serta dalam penciptaan kultur ini. Sederhana saja bukan? (Galih Gumelar)

1 comment:

  1. Dialektika indie-mainstream dibahas di buku karya joseph heath sama andrew potter,judulnya the rebel sell,versi bahasa indonesianya berjudul radikal itu menjual. disana dijelaskan kalau memang indie itu (seinget gw) intinya punya semacam siklus menjadi mainstream, lalu ada lagi hal lain yang jadi antimainstream atau 'indie' lagi. tapi gw setuju bahwa musik (indie ataupun mainstream yang dikotominya sangat relatif) memang sesuatu yang personal. movement yang diusulkan galih jelas ajakan cerdas. count me in!

    ReplyDelete