Sehari sebelum menggelar konser tunggal, Senyawa tampil di kantor Media Group. Di sana mereka membawa lima nomor lama dan baru. Setelah tampil selama sekitar 20 menit, saya langsung mencegat mereka. Pertama-tama, saya hampiri Wukir Suryadi, pemain instrumen di antara duo itu. Terakhir kali kami jumpa beberapa bulan lalu di Jerman. Saya yang sedang bertugas meliput Frankfurt Book Fair, berkunjung ke lokasi pertunjukan Gandari. Di sana, ada Wukir yang juga menonton teater itu dalam rangkaian perjalanan tur musikalnya. Wukir sempat mengundang saya menyaksikan penampilannya di Weltkulturen Museum. Sayangnya ketika itu saya nggak bisa hadir. Nah di momen ketika Senyawa tampil di kantor inilah saya baru sampaikan alasan ketidakhadiran waktu itu. Haha
Saya kemudian berbelok ke sisi lain panggung, menyalami Rully Shabara dan memperkenalkan diri. Inilah kesempatan pertama saya berbincang panjang dengan biduan berjangkauan vokal lebar ini. Obrolan panjang bersama Wukir pernah saya lakukan di Galeri Nasional tahun 2013. Nah tinggal Rully nih yang belum digali. Maka sekaranglah saatnya untuk mendalami visi musikal penyanyi yang juga sumbang suara bagi kelompok rock-eksperimental Zoo.
“Samastamartha keren banget!” saya berseloroh to the point. “Siapa mastermind-nya?” Mata Rully mengerling, lalu menjawab singkat, “siapa lagi?”
Samastamartha yang saya maksud adalah album termutakhir Zoo. Saya memujinya karena album ketika band asal Jogja itu bukan cuma bundelan musik, tapi juga segepok ide. Sebenarnya dua album Zoo lain juga begitu. Hymne Peradaban memulai perjalanan Zoo. Peradaban memang menjadi kata kunci penting. Setelahnya, album Prasasti dirilis dilengkapi dengan Zoografi, sistem abjad yang diciptakan melekat dengan album itu. Lalu hadirlah Samastamartha yang berarti harfiah terdiri dari samastha (sejajar dengan tanah) dan martha (kekal). Meski memang terasa lebih banyak bahasan tentang Zoo, wawancara saya dengan Rully berikut ini juga berisi tentang proyek paduan suara eksperimental, hingga hal personal tentang kehadiran ibunya di sebuah pentas. Simak!
Zoo
Jadi Samastamartha itu referensinya apa aja?
Oh kalo itu kita membagnun ulang peradaban dari pandangan arsitektur. Jadi aku dibantu sama JP studio itu konsultan arsitektur. Aku cuma pengen bangun kota seperti ini, mitologi dan sejarahnya seperti ini. Jadi aku berdiskusi lama, seperti apa sih sebuah kota itu muncul berkembang dan hancur. Jadi aku banyak dikasih masukan.
Aku hanya membangun histori kota itu dengan sejarahnya dan filosofinya. Jadi aku banyak ngambil contoh dari kota-kota yang ada, termasuk Yogyakarta (kota tempat Rully kuliah, hingga bertemu rekan kolaborator musikalnya).
Itu kayaknya metafora ya?
Beringin itu alam. Kalau kita tidak bersinergi dengan alam ya kita ancur tanpa disadari. Setiap lagu kan tentang filosofi sebuah kota berdasarkan arsitektur yang ada di tempat tersebut. Jadi arsitektur aku nggak ngomongin bangunannya tapi landasan moral masyarakat sekitar. Kayak masyarakat sekitar jawa kan borobudur dan candi-candi itu kan banyak pelajaran moral dari situ, jadi panutan masyarakat sekitar.
Yang ke depan memang Zoografi itu ya proyeknya?
Bukan. Zoografi itu salah satu benang merah. Waktu studi bahasa itu kemarin kan (di album sebelumnya). Aku ciptain bahasa itu apa tentang bahasa, abis itu tentang agama, teknologi.
Tahun berapa?
Tahun depan. Sekarang sedang riset tentang itu, agama. Jadi peradaban yang dulu kita bangun itu sekarang ada agamanya. Kemarin ada bahasanya, ada arsitekturnya, sekarang ada agamanya.
Titik awal dari kehancuran dan kebangkitan bangsa itu dari sini dari agama, abis itu teknologi.
Abis teknologi ada migrasi, tata negara, dan sebagainya sampai akhirnya komplit tahun 2025. Tahun 2025 bubar. Selesai.
Ide itu dari mana?
Ya aku ingin membuat proyek yang berlangsung 20 tahun dengan tema yang tidak habis dieksplor dan tema yang sama. Seperti dari awal peradaban sampai akhir. Dari kosong, dari primitif sampai akhirnya maju berkembang dan hancur.
Dan kayaknya keliatannya menyesuaikan dengan kekinian, maksudnya soal agama tadi bahwa itu bisa menghancurkan atau membangkitkan. Karena kan isu agama lagi marak. Itu memang menyesuaikan dengan itu juga?
Nggak. Kebetulan aja, aku udah rancang ini udah dari tahun kapan agama bakal rilis. Kebetulan aja. Tiap tema aku bikin riset dulu lalu ada liriknya, liriknya kemudian musiknya. Setelah ada musiknya baru kita kembangkan lebih lanjutnya. Digali lagi konsep itu.
Paduan Suara Eksperimental
Itu soal Zoo. Teknik suara seperti itu latihannya gimana?
Sedikit demi sedikit.
Aku pengen bisa. Hahaha.
Wah, nggak bisa mendadak. Sedikit-sedikit, pelajarin, secara detil seperti apa bunyi yang keluar dari kita dicari yang nyaman bukan mana yang bisa. Kalau aku begitu. Aku tiga tahun kemarin belum segini banyaknya, nanti tambah lagi tambah lagi.
Kalau di Indonesia ada nggak yang punya skill serupa?
Aku nggak tahu. Mungkin ada. Orang Indonesia talent-nya kan gila-gila, cuma kan bukan masalah skill-nya, (tapi) bagaimana menerapkannya ke visi musikmu. Aku kalau cuman gitu-gitu aja dengan musik seperti itu kan biasa juga. Jadi harus dikemas dengan yang tepat gitu.
Jadi akhirnya tidak seolah-olah konser yang pamer skill. Jadi kan orang menganggap skill-nya membantu membangun emosi dan energinya. Gitu.
Visi tadi yang dimaksud?
Iya, sama kayak Zoo yang bisa sampai 2025 aku bikin.
Senyawa?
Senyawa lain lagi. Senyawa fokusnya adalah mengembangkan potensi yang ada. Jadi di sini aku belajar mengembangkan potensi diri, pribadi, kemampuan, dan dalam hal musik juga.
Kalau nyebut nama, Rully Shabara ini inspirasinya dari siapa aja?
Wah banyak banget mas, banyak sekali. Dari teman-teman, lingkungan, dari musik yang aku dengerin, dari buku.
Aku nonton wawancara Vice, Mas keberatan kalau ini disebut musik tradisional.
Memang bukan tradisional kan. Aku nggak keberatan disebut apa-apa, tapi bukan tradisional kan. Musik tradisional itu punya pakem tertentu yang harus dihormati. Dan kami tidak melakukan itu. Kamu bisa bilang ini musik avant-garde, musik metal, silahkan. Karena ya gitu. Dan bagi itu gak penting itu genre. Genre itu hanya untuk membantu media atau jurnalis musik untuk mempelajarinya aja.
Tapi bagi musisinya sendiri itu malah sangat tidak penting. Malah membatasi mereka kalau ada sebutannya. Kalau ada sebutannya berarti hanya berkecimpung di kotak itu dong. Ya kan.
Aku follow instagram ada semacam kelas vokal gitu. Kayak gimana itu?
Oh itu aku, paduan suara eksperimental. Kamu bisa ikut kalau kapan-kapan kita bikin. Kapan-kapan bisa, di sini bisa. Kalau sekarang ini yang di Indonesia belum ada tapi kalau mau bikin aja. Kamu undang aku ke sini, aku datang.
Bedanya dengan paduan suara biasa?
Kalau paduan suara biasa kamu harus bisa nyanyi. Kalau ini paduan suara eksperimental, kita akan bereksperimen dengan suara apa pun yang ada.
Tujuannya apa?
Tujuannya membantu orang menjadi lebih percaya diri, bisa menggunakan vokalnya, bisa mengapresiasi bunyi. Begitu kalian selesai itu kalian akan “wah, ternyata aku bisa ya. Aku bisa menggunakan vokalku dengan cara begini. Nggak haram kok. Nggak harus merdu”.
Kalau mau bikin minimal berapa orang?
Minimal 10, 20. Aku pernah bikin sampai dengan 100. Nggak ada batasan. Semakin banyak semakin baik. Dua puluh ideal.
Apresiasi Paling Berkesan
Ketika konser di dalam negeri, apresiasi yang paling menyenangkan itu seperti apa?
Menyenangkan main di hadapan orang tua sendiri. Di kampung halaman. Pernah orang tuaku nonton, ibuku nonton.
Jadi perform di Palu sana?
Ya.
Kenapa itu menjadi spesial?
Rasanya kan lain. Bayangkan ibumu nonton kamu dan musiknya gitu.
Komentarnya?
Komentarnya, “nak kenapa kamu buka baju” gitu.
Jawabannya?
...
Di bagian pertanyaan terakhir, Rully tidak menjawab tegas. Gesturnya kikuk. Saya menduga, pembicaraan tentang ibu mungkin terlalu berharga untuk dibagi. Kesan itu semakin kuat ketika pada konser tunggal Senyawa bertajuk Tanah Air—yang beririsan dengan peringatan hari ibu—Rully menyematkan kredit khusus bagi ibundanya. Pertanyaan lebih personal semacam “kenapa tato di perut Rully bertuliskan ‘father’?” urung saya ajukan. Pencarian akar inspirasi visi musikal Rully Sabhara berakhir di sana. Seseorang kemudian menyela perbincangan kami untuk menyerahkan handuk penghapus keringat. “Wah tengkyu Bal. Dikasih ini? Wah, T-O-P-B-G-T.” []