Tahun 2016 lalu ketika membuat penelusuran berjudul “Gaduh Ideologi”, saya mewawancarai Romo
Magnis di kantornya. Dengan malu-malu, saya mengaku bahwa belum membaca Das
Kapital untuk mendalami marxisme yang akan kami bincangkan. Saya terkejut
karena ia bilang nggak usah.
Pada kesempatan lain, saya sempat mendengar langsung bahwa
sastrawan Sapardi Joko Damono berdecak kagum atas isi kepala Marx. Ia salut
dengan latar belakang Karl yang bukan siapa-siapa, tapi membuahkan gagasan yang
menurutnya brilian.
Bagaimana Marx bisa dikagumi sekaligus disalahkan? Baru-baru
ini saya nonton film berjudul Young Karl Marx (2017).
Film ini disusun kronologis, dimulai dari penjabaran kondisi
sosial ketika Marx bekerja sebagai wartawan yang kritis terhadap pemerintahan
saat itu.
“Pada tahun 1843, eropa dikuasai oleh sistem kerajaan yang berkalang krisis, kelaparan dan resesi ekonomi.”
Marx muda yang masih berusia 25 tahun kemudian ditangkap
akibat tulisannya yang dianggap berbahaya bagi kerajaan Prusia. Ia dan istrinya
lalu diasingkan ke Perancis pada tahun 1844. Di sana Marx bertemu
kolaboratornya: Friedrich Engels. Young Karl Marx menggambarkan suasana
pertemuan Marx-Engels yang awalnya canggung. Marx yang terkesan arogan, sempat
ragu dengan komitmen perjuangan Engels. Wajar, karena ayah Engels pemilik
pabrik: pemilik alat produksi yang memiliki tendensi memeras tenaga buruh.
Dalam sebuah adegan digambarkan bahwa suatu hari Engels dan
ayahnya meninjau pabrik miliknya ketika para pegawai protes dengan durasi kerja
berlebihan. Seorang pekerja bernama Mary Burns berani mendebat pemilik pabrik. Ketika
dia diancam pemecatan dan memancing solidaritas pekerja lain, tidak ada yang
mendukung. Di kemudian hari, Mary inilah yang menjadi istri Engels.
Singkat cerita, Marx dan Engels kemudian berkolaborasi. Di kemudian
hari, lahirlah manifesto komunisme—yang jadi semangat pemberontakan di sejumlah
belahan dunia (di film ini digambarkan dengan cuplikan foto protes, dilatari
lagu Bob Dylan berjudul Like a Rolling Stone).
Perjalanan menuju rilisnya deklarasi terbuka tentang paham
komunisme, juga digambarkan di film berdurasi 2 jam kurang 2 menit ini. Mulai dari
kehadiran Marx di kongres para anarkis di Perancis, hingga pembentukan partai
internasional Communist League (yang sebelumnya berupa organisasi pemikir
kritis bernama League of the Just atau League of Outlaws). Momen menarik ketika
tokoh anarkis Pierre-Joseph Proudhon menghadiahkan buku The Philosophy of
Poverty (Filosofi Kemiskinan) juga ditampilkan. Di kemudian hari, Marx menjawab
buku itu dengan judul The Poverty of Philosophy (Kemiskinan Filsafat).
Secara visual, film ini sebenarnya membosankan. Meski demikian,
setidaknya Young Karl Marx penting bagi pembelajar audio-visual, untuk mengenal
sosok yang dinobatkan filsuf paling berpengaruh abad ke-21 ini. Selanjutnya,
untuk mengetahui kenapa Romo Magnis dan Pak Sapardi berbeda pendapat, kita
harus mendalami buah pikiran Marx. Menurut
sosiolog Immanuel Wallerstein,
“Hal pertama yang harus saya katakan kepada anak muda adalah mereka harus membaca-nya. Jangan membaca tentang dia, tetapi baca Marx.”
Anjuran di atas, nampaknya akan sulit diterapkan di Indonesia,
karena Tap MPRS nomor 25 tahun 1965 masih berlaku. []
No comments:
Post a Comment