Tadi pagi saya nonton film Wonder. Kebetulan tayang di Fox
Movies. Waktu film ini ada di bioskop, saya nggak sempat nonton, padahal banyak
ulasan bagus. Ternyata memang iya. Film ini kalau menurut istilah Joko Anwar,
menghangatkan. Ceritanya tentang seorang anak bernama Auggie yang menderita penyakit
langka. Via sang kakak, menjelaskan bahwa kondisi yang dialami adiknya terjadi
akibat kebanyakan jumlah kromosom di dalam sel si adik. Belakangan saya tahu
bahwa kelainannya bernama Edward Syndrome. Kata Via, kondisi Auggie cuma kemenangan
dalam sebuah lotere kemalangan.
Meski fokus di sosok Auggie, film Wonder juga mengenalkan
tokoh lain di beberapa babak yang dibatasi dengan nama mereka. Via sang kakak, dihadapkan
dengan kekecewaannya dalam aktivitas seni peran yang dia ikuti dan persaingan
dengan sobat karibnya, Miranda. Tapi kita pada akhirnya paham tentang problema
yang juga dihadapi Miranda melalui penuturan yang tetap kronologis.
Lantas bagian mana yang dimaksud dengan “menghangatkan”? Ada
beberapa. Misalnya ketika tokoh Jack Will bersedia menemani Auggie yang dijauhi
teman-temannya. Karena sindrom yang dideritanya, Auggie memang jadi sasaran
empuk perundungan (bullying). Terutama oleh teman sekelasnya yang bernama
Julian. Kenapa Julian bisa sedemikian intimidatif? Bagaimana kepala sekolah
Tushman memecahkan masalah klasik bullying?
Pada akhirnya film ini mengajak kita untuk memahami bahwa
ada suatu kondisi yang membuat seseorang bertindak negatif terhadap orang lain.
Dan untuk memahaminya, kita perlu berempati. Kalo kata Miranda, kurang lebih:
Wonder bukan cuma mengajak kita berpikir tentang bagaimana baiknya kita berinteraksi dengan kalangan difabel, tapi juga menggambarkan sistem penerimaan yang membuat mereka tetap setara. Auggie yang sebelumnya belajar dengan system homeschooling, pada akhirnya berterima kasih ke ibunya karena ia bisa bersekolah bersama teman-temannya yang “normal”. Mewadahi bakat dan potensi anak berkebutuhan khusus mungkin memang sulit. Tapi dengan pendidikan inklusif yang tepat, keterbatasan mereka pada akhirnya bisa dipandang sebagai keberagaman yang membuat hidup lebih berwarna. []
Setiap orang berjuang dalam pertarungannya masing-masing.
Wonder bukan cuma mengajak kita berpikir tentang bagaimana baiknya kita berinteraksi dengan kalangan difabel, tapi juga menggambarkan sistem penerimaan yang membuat mereka tetap setara. Auggie yang sebelumnya belajar dengan system homeschooling, pada akhirnya berterima kasih ke ibunya karena ia bisa bersekolah bersama teman-temannya yang “normal”. Mewadahi bakat dan potensi anak berkebutuhan khusus mungkin memang sulit. Tapi dengan pendidikan inklusif yang tepat, keterbatasan mereka pada akhirnya bisa dipandang sebagai keberagaman yang membuat hidup lebih berwarna. []