Koleksi Patung
Menjadi wartawan di media nasional
membuat saya berkesempatan bertemu tokoh nasional bahkan internasional. Adalah
B.J. Habibie, sosok jenius yang dunia kenal dengan julukan Mr. Crack karena
temuannya di bidang rekayasa pesawat terbang. Presiden ketiga Indonesia ini
saya temui pada sebuah kesempatan di kediamannya di kawasan Patra Kuningan
Jakarta. Juni ini (2014) usianya 78 tahun. Suaranya pun masih lantang. Gerak
langkahnya masih mantap.
“Eyang usianya hampir 80, tapi
kalau bicara seperti usia 18 tahun.” ujarnya dalam sebuah kelakar.
Selain bicara panjang lebar selama
sekitar satu jam, kala itu saya juga diajak berkeliling rumahnya. Banyak hal
yang dibahas, salah satunya tentang koleksi karya seni yang jumlahnya boleh
dibilang tidak sedikit.
Awalnya saya diajak ke ruang tamu.
Ada beberapa ruang tamu di rumah yang ditinggali Eyang Habibie—demikian ia
nyaman disapa—sejak awal tahun 1970-an ini.
“Ya biasanya saya duduk sini, sini
Ainun. Sini (tamu) prianya, sini wanitanya. Yang pernah ke mari, misalnya
presiden Carter, atau Sultan Bolkiah. Jadi banyak sekali tokoh-tokoh saya
terima di sini. Ini meja makan. Saya makan di sini kalau dengan tamu.” Ujarnya
menjelaskan.
“Eyang suka koleksi sculpture?”
Tanya saya tentang deretan patung di ruangan itu.
“Oh ya, saya suka. Itu (buatan)
Rodin (dibaca: Rodang). The Thinker. Si Pemikir namanya. Rodin orang Perancis.”
Eyang Habibie menjelaskan sambil tangannya memegang dagu, menirukan pose Si
Pemikir.
Saya lalu ditunjuki patung lain di
ruangan itu. dari sebua patung penerbang bernama The Aviator, patung burung
yang mencengkeram mangsanya, hingga patung Rodin lain bernama The Cathedral.
“Coba lihat ini tangan. Tangan ini,
tidak mungkin tangan dari satu orang. Jadi, ini dua orang. Tangan kanan
dua-duanya. Rodin. Ini keliatan bagaimana partnership, saling membantu. Baik
dalam kehidupan rumah tangga, atau dalam masyarakat, et cetera. Tergantung
filsafatnya. Saya suka sekali Rodin.” Katanya menutup penjelasan.
Menikmati Sastra
Selain seorang teknokrat, Habibie
rupanya juga seorang budayawan. Ia mengaku suka sekali dengan karya seni.
Penggemar Enrique Iglesias ini juga menikmati ragam sastra, sajak atau
cerita-cerita.
“Saya nikmati kalau ada teater. Tapi
kalau saya bekerja saya gak punya waktu, karena waktu hanya 24 jam, dan saya
harus tekuni dalam bidang teknologi.”
Wujud perkawinan seni dan teknologi
dalam jagad selera seorang Habibie juga tampak dalam berbagai ornamen tentang
kuda. Baginya, kuda itu punya kesan tersendiri.
“Kenapa saya suka? Karena kuda bagi
saya perlihatkan kekuatan. Kan horse
power. Tapi dia perlihatkan dinamikanya. Dia loncat, tapi dia punya
kekuatan dan dinamika besar, tapi elegan. Bukan nafsu kuda loh. Haha.”
Kami kemudian berpindah ruangan.
Eyang Habibie menuntun saya menuju bagian depan rumah. Setelah pintu masuk, ada
sebuah ruangan penghubung kecil. Pahatan berlapis kaca terukir di lantai
ruangan itu. tampak peta Indonesia dalam sebuah bulatan. Tepat di atasnya, di
kubah yang menjadi tempat lampu hias bergantung, terlukis burung-burung dan
awan. Di depan pintu dan dinding sekeliling ruangan juga terpampang relief lain
yang menggambarkan kekayaan budaya Indonesia.
Ruang tunggu di sebelah kanan
kemudian kami masuki. Tiga lukisan buatan Basuki Abdullah terjejer di dinding.
Di ruangan ini, Eyang Habibie ingin menunjukkan bahwa orang Indonesia juga ada
yang bisa melukis ala Rembrandt. Tak hanya lukisan realis khas perupa Belanda
itu, ia juga punya ruangan lain yang menunjukkan bahwa Indonesia juga punya
tokoh seni lukis abstrak sekelas Picasso. Di ruangan itu, terpajang pula
lukisan Bagong Kusudiardjo.
“Ini semua lukisan asli, tidak
copy,” Eyang Habibie meyakinkan.
Ia juga menambahkan bahwa Eyang
Ainun punya hobi membuat sketsa lukisan. Sketsa-sketsa itu kini tersimpan rapi
di rumah mereka di Jerman.
Setelah mengenalkan koleksi benda
seninya, Eyang Habibie mengajak saya menyusuri lorong di salah satu bagian
rumah. Di dinding lorong terpampang empat lukisan dengan warna dominan biru. Keempatnya
menggambarkan proses masuknya agama ke Indonesia. Gambar pertama menunjukkan bahwa
Hindu-Buddha adalah yang pertama tiba. Ada tarikan garis-garis serupa cahaya
yang seolah memancar dari bagian atas.
“Ini semua lari ke satu titik: Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Pungkas Eyang Habibie.
Dengan penjelasan serupa, ia
kemudian menjelaskan makna tiga lukisan berikutnya—tentang kedatangan Islam
yang dibawa Laksamana Ceng Ho, Islam bawaan pedagangan Gujarat, hingga
penyebaran Agama Kristen. Lorong dengan lukisan itu berujung ke sebuah air
mancur dengan fosil kayu di bagian tengahnya. Dari sana terlihat taman yang
memamerkan patung seukuran tubuh manusia dewasa. Ada The Thinker, Dewa Ganesha,
Dewi Saraswati, dan sebuah patung pemikir dari Afrika.
“Si pemikir dari Afrika ini, originalnya
itu sebesar yaa berapa sentimeter ada.” Eyang Habibie menjelaskan sambil
mengambil jarak antara jempol dan telunjuk sebelah kanannya.
Kalau Anda dalam hal ini berbudaya
tinggi, agama berkualitas tinggi berarti imtak (iman dan takwa)-nya tinggi, dan
berpendidikan tinggi, sehingga ipteknya juga tinggi, Anda jadi unggul. Maka akan
terjadi seperti Nabi Musa. Karena itu saya membuat ini,” Eyang Habibie
menunjukkan dua buah kolam aquarium.
Puluhan ikan koi terlihat
mematuk-matuk dasar batu di sana. Sementara, air di kolam itu terus bertumpahan.
Kedua kolam itu adalah representasi laut merah yang terbelah ketika Nabi Musa
membawa umatnya menyelamatkan diri dari serangan Firaun. Berjalan melintasi
kedua kolam itu, kami kemudian memasuki ruang perpustakaan bernama Pusat
Keunggulan Informasi Peradaban Indonesia. Dalam ruangan itu tersimpan informasi
tentang iptek, budaya dan agama. Di sisi lain perpustakaan itu, juga terpampang
replika pesawat-pesawat buatan PT DI—yang sempat ia pimpin.
Pembicaraan tentang rumah “imtak-iptek”
pun berakhir di sana. Di kediamannya itu, Eyang Habibie tinggal bersama para ajudannya.
Setelah perbincangan kami ditutup, Eyang Habibie kembali memasuki bagian privat
rumahnya yang diterangi cahaya temaram. []
No comments:
Post a Comment