Tuesday, October 8, 2019

Rumah Habibie


Koleksi Patung

Menjadi wartawan di media nasional membuat saya berkesempatan bertemu tokoh nasional bahkan internasional. Adalah B.J. Habibie, sosok jenius yang dunia kenal dengan julukan Mr. Crack karena temuannya di bidang rekayasa pesawat terbang. Presiden ketiga Indonesia ini saya temui pada sebuah kesempatan di kediamannya di kawasan Patra Kuningan Jakarta. Juni ini (2014) usianya 78 tahun. Suaranya pun masih lantang. Gerak langkahnya masih mantap.

“Eyang usianya hampir 80, tapi kalau bicara seperti usia 18 tahun.” ujarnya dalam sebuah kelakar.

Selain bicara panjang lebar selama sekitar satu jam, kala itu saya juga diajak berkeliling rumahnya. Banyak hal yang dibahas, salah satunya tentang koleksi karya seni yang jumlahnya boleh dibilang tidak sedikit.

Awalnya saya diajak ke ruang tamu. Ada beberapa ruang tamu di rumah yang ditinggali Eyang Habibie—demikian ia nyaman disapa—sejak awal tahun 1970-an ini.

“Ya biasanya saya duduk sini, sini Ainun. Sini (tamu) prianya, sini wanitanya. Yang pernah ke mari, misalnya presiden Carter, atau Sultan Bolkiah. Jadi banyak sekali tokoh-tokoh saya terima di sini. Ini meja makan. Saya makan di sini kalau dengan tamu.” Ujarnya menjelaskan.

“Eyang suka koleksi sculpture?” Tanya saya tentang deretan patung di ruangan itu.

“Oh ya, saya suka. Itu (buatan) Rodin (dibaca: Rodang). The Thinker. Si Pemikir namanya. Rodin orang Perancis.” Eyang Habibie menjelaskan sambil tangannya memegang dagu, menirukan pose Si Pemikir.

Saya lalu ditunjuki patung lain di ruangan itu. dari sebua patung penerbang bernama The Aviator, patung burung yang mencengkeram mangsanya, hingga patung Rodin lain bernama The Cathedral.

“Coba lihat ini tangan. Tangan ini, tidak mungkin tangan dari satu orang. Jadi, ini dua orang. Tangan kanan dua-duanya. Rodin. Ini keliatan bagaimana partnership, saling membantu. Baik dalam kehidupan rumah tangga, atau dalam masyarakat, et cetera. Tergantung filsafatnya. Saya suka sekali Rodin.” Katanya menutup penjelasan.

Menikmati Sastra

Selain seorang teknokrat, Habibie rupanya juga seorang budayawan. Ia mengaku suka sekali dengan karya seni. Penggemar Enrique Iglesias ini juga menikmati ragam sastra, sajak atau cerita-cerita.

“Saya nikmati kalau ada teater. Tapi kalau saya bekerja saya gak punya waktu, karena waktu hanya 24 jam, dan saya harus tekuni dalam bidang teknologi.”

Wujud perkawinan seni dan teknologi dalam jagad selera seorang Habibie juga tampak dalam berbagai ornamen tentang kuda. Baginya, kuda itu punya kesan tersendiri.

“Kenapa saya suka? Karena kuda bagi saya perlihatkan kekuatan. Kan horse power. Tapi dia perlihatkan dinamikanya. Dia loncat, tapi dia punya kekuatan dan dinamika besar, tapi elegan. Bukan nafsu kuda loh. Haha.”

Kami kemudian berpindah ruangan. Eyang Habibie menuntun saya menuju bagian depan rumah. Setelah pintu masuk, ada sebuah ruangan penghubung kecil. Pahatan berlapis kaca terukir di lantai ruangan itu. tampak peta Indonesia dalam sebuah bulatan. Tepat di atasnya, di kubah yang menjadi tempat lampu hias bergantung, terlukis burung-burung dan awan. Di depan pintu dan dinding sekeliling ruangan juga terpampang relief lain yang menggambarkan kekayaan budaya Indonesia.

Ruang tunggu di sebelah kanan kemudian kami masuki. Tiga lukisan buatan Basuki Abdullah terjejer di dinding. Di ruangan ini, Eyang Habibie ingin menunjukkan bahwa orang Indonesia juga ada yang bisa melukis ala Rembrandt. Tak hanya lukisan realis khas perupa Belanda itu, ia juga punya ruangan lain yang menunjukkan bahwa Indonesia juga punya tokoh seni lukis abstrak sekelas Picasso. Di ruangan itu, terpajang pula lukisan Bagong Kusudiardjo.

“Ini semua lukisan asli, tidak copy,” Eyang Habibie meyakinkan.

Ia juga menambahkan bahwa Eyang Ainun punya hobi membuat sketsa lukisan. Sketsa-sketsa itu kini tersimpan rapi di rumah mereka di Jerman.

Setelah mengenalkan koleksi benda seninya, Eyang Habibie mengajak saya menyusuri lorong di salah satu bagian rumah. Di dinding lorong terpampang empat lukisan dengan warna dominan biru. Keempatnya menggambarkan proses masuknya agama ke Indonesia. Gambar pertama menunjukkan bahwa Hindu-Buddha adalah yang pertama tiba. Ada tarikan garis-garis serupa cahaya yang seolah memancar dari bagian atas.

“Ini semua lari ke satu titik: Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pungkas Eyang Habibie.

Dengan penjelasan serupa, ia kemudian menjelaskan makna tiga lukisan berikutnya—tentang kedatangan Islam yang dibawa Laksamana Ceng Ho, Islam bawaan pedagangan Gujarat, hingga penyebaran Agama Kristen. Lorong dengan lukisan itu berujung ke sebuah air mancur dengan fosil kayu di bagian tengahnya. Dari sana terlihat taman yang memamerkan patung seukuran tubuh manusia dewasa. Ada The Thinker, Dewa Ganesha, Dewi Saraswati, dan sebuah patung pemikir dari Afrika.

“Si pemikir dari Afrika ini, originalnya itu sebesar yaa berapa sentimeter ada.” Eyang Habibie menjelaskan sambil mengambil jarak antara jempol dan telunjuk sebelah kanannya.

Kalau Anda dalam hal ini berbudaya tinggi, agama berkualitas tinggi berarti imtak (iman dan takwa)-nya tinggi, dan berpendidikan tinggi, sehingga ipteknya juga tinggi, Anda jadi unggul. Maka akan terjadi seperti Nabi Musa. Karena itu saya membuat ini,” Eyang Habibie menunjukkan dua buah kolam aquarium.

Puluhan ikan koi terlihat mematuk-matuk dasar batu di sana. Sementara, air di kolam itu terus bertumpahan. Kedua kolam itu adalah representasi laut merah yang terbelah ketika Nabi Musa membawa umatnya menyelamatkan diri dari serangan Firaun. Berjalan melintasi kedua kolam itu, kami kemudian memasuki ruang perpustakaan bernama Pusat Keunggulan Informasi Peradaban Indonesia. Dalam ruangan itu tersimpan informasi tentang iptek, budaya dan agama. Di sisi lain perpustakaan itu, juga terpampang replika pesawat-pesawat buatan PT DI—yang sempat ia pimpin.

Pembicaraan tentang rumah “imtak-iptek” pun berakhir di sana. Di kediamannya itu, Eyang Habibie tinggal bersama para ajudannya. Setelah perbincangan kami ditutup, Eyang Habibie kembali memasuki bagian privat rumahnya yang diterangi cahaya temaram. []

No comments:

Post a Comment