Saturday, May 8, 2021

Buku Pak Celli Dari Gramedia Padjadjaran

 Gramedia Padjadjaran Bogor sudah almarhum. Bagi mereka yang tumbuh dewasa di kota hujan, tempat ini legendaris. 


Beberapa teman saya, sedih lihat pengumuman ini. Ada yang sering pake Gramedia Padjadjaran buat janjian--entah sama pacar, atau sama nonpacar. Haha. Ada juga yang baca gratis disana--jangan-jangan gara-gara kebiasaan ini pengelolanya susah balikin modal usaha.


Saya nggak sempet nanya alasan pastinya, tapi saya sempat tanya satu pertanyaan: ada cuci gudang nggak. Haha. Jawabannya ternyata nggak ada. Artinya nggak ada diskon khusus sebagai tanda perpisahan.


Surprisingly, buku yang saya beli ini, tetep didiskon. Karena ternyata, dibeli dalam periode "promo gedebuk" yang berlaku di semua Gramedia saat itu. Lumayan.


Dari Jokowi ke Harari isinya kumpulan esai buatan Rizal Mallarangeng atau akrab disapa Celli. Dia dikenal sebagai ilmuwan politik lulusan AS. Mantan wapemred Metro TV--yang kini jadi pemred Lampung Post--Abdul Kohar pernah menulis bahwa Celli inilah yang turut berkontribusi dalam tren penghitungan suara quick count di televisi--yang dipelopori Metro TV tahun 2004.


Dalam buku setebal dua ratusan halaman ini, kita bisa mengenal Pak Celli sebagai ilmuwan politik tadi. Dalam sebuah esai yang ditulis untuk Bill Lidle, ia mengisahkan pengalaman akademisnya sejak menempuh strata sarjana di UGM Yogyakarta hingga lulus dari OSU Columbus, Amerika Serikat.


Tulisan itu terasa personal sekaligus bergizi. Ada nukilan tentang pengalaman uniknya batal jadi dosen UGM akibat aktif di kegiatan kemahasiswaan. Ditulisnya bahwa momen itu: penanda zaman. Sebagai akademisi, Dalam judul yang sama, Pak Celli juga menyisipkan gagasan dari buku yang ia baca. Di situlah gizi yang saya maksud--yang dengan berlimpah kita temui pula dalam artikel lain dalam buku ini.


Judul terakhir memang berkisah tentang Bill Lidle--selain tentang Ashadi Siregar di bab yang sama. Meski begitu, Pak Celli menulis topik lain juga. Tentu saja, seperti yang tertulis di judul: dari analisa pidato presiden Jokowi, pembahasan fenomena presiden Trump, hingga resensi dua buku Yuval Noah Harari.


Bahasan-bahasan dalam buku terbitan 2019 ini sebenarnya banyak yang juga bisa dibaca di internet. Saya pernah baca artikel tentang Silicon Valley di situs Qureta. Rasanya ternyata beda. Ketika simak lagi tulisan yang sama di atas kertas, ada semacam ingatan yang terasa lebih melekat. Barangkali itulah keajaiban buku fisik yang nggak bisa digantikan piranti digital.


Menurutku, tulisan Pak Celli tentang Golkar dan Airlangga Hartarto terasa bias.  Kakak mantan menpora Rizal Mallarangeng ini memang punya jabatan di Golkar, sehingga tulisan yang saya maksud terasa kurang introspektif. 


Ada sih, sisi introspeksi soal prahara Setya Novanto dan Idrus Marham, tapi nggak kritisi penyakit korupsi itu sendiri. Airlangga Hartarto, juga terlalu disanjung sebagai technopol untuk konteks pemilihan calon wapres Jokowi di Pilpres 2019. Mungkin karena saya sekarang terganggu dengan gaya "technopol" menko perekonomian itu yang "kok lulusan sekolah yang sama dengan Donald Trump gaya bicara dan kelakuannya begitu?".


Seminggu setelah saya beli di Gramedia Padjadjaran dengan korting setengah harga, buku ini tandas saya baca. Soalnya memang se-nggak bisa berhenti dibaca itu. Gaya bahasanya terasa berrima. Ada kalimat panjang, disambung kata atau kalimat pendek berbahasa inggris. Pak Celli mungkin ingin makna dari gagasannya tidak terdistorsi oleh translasi. 


Selanjutnya, mungkin saya akan beli lagi kalau ada buku kumpulan esai lain yang diterbitkan Pak Celli. Mending baca lewat buku fisik, dibanding baca artikel di website. Dunia digital terlalu bising. []

No comments:

Post a Comment