Saturday, May 15, 2021

Kinipan

Katanya, rentang perhatian alias attention span manusia semakin singkat. Orang cuma bisa tahan nonton sekian detik, makanya story Instagram cuma 15 detik.

Tunggu, kenapa orang juga bisa tahan nonton serial berjam-jam? Rupanya attention span yang menciut itu mitos belaka. Yang penting: satu menit pertama musti memukau.

Akhirnya, Watchdoc merilis film dokumenter Kinipan lewat kanal YouTube, yang durasinya dua setengah jam. Satu menit pertama, kita langsung dihadapkan ke inti film—perusakan lingkungan.

Empat menit awal film, bagian “lead” berakhir. Judul muncul. Dua setengah jam lalu berakhir.

Kinipan ternyata bukan cuma soal sebuah desa di Kalimantan yang menghadapi perusahaan perusak hutan. Tokoh utamanya dua orang: Basuki dan Feri.

Ada 7 bab yang menggambarkan perjuangan pelestarian alam melalui perspektif dua orang ini. Di awal, penokohan mereka terasa dekat.

Kita pun bisa menaruh simpati dan kepercayaan. Sehingga, ketika mereka turut menganalisa, terasa sahih.

Basuki memusatkan perjuangan di pulau Kalimantan, sementara Feri di Sumatera. Keduanya bakal ketemu di bagian akhir.

Di antara pertemuan itu, mereka mengungkap bahwa eksploitasi alam, pandemi, kuasa negara, semua berkaitan. Ada beberapa informasi lama, ada pula yang baru.

Misalnya, soal konflik kepentingan antara pemuka negara dan pengusaha yang pernah didalami film dokumenter Sexy Killer. Tentang kegagalan proyek sawah di Kalimantan yang diulas Asimetris.

Yang baru saya dapat dalam film ini: beda persepsi soal restorasi hutan dari mata korporasi dan masyarakat adat. Kamu akan temukan detil kisah ini di sekitar 45 menit terakhir film, lengkap dengan “cover both side” yang sempat diributkan netizen ketika Sexy Killer tayang dua tahun lalu.

Pada akhirnya, ada nada pesimisme dalam narasi bahwa “negara tidak mungkin mengembalikan hak pengelolaan hutan ke masyarakat adat”. Tapi toh perjuangan warga di sekitar hutan menolak padam.

Meski, narasi di bagian akhir Kinipan menuturkan nada getir:


“Kini semuanya telah terhubung/

Peradaban dan gaya hidup kita/

Menuntut pengorbanan besar dari alam//

Yang merasakan dampaknya/

Tak hanya manusia//

Sebab manusia/ jelas bukan

Satu-satunya yang butuh hidup//

Dan harga yang harus dibayar manusia/

Kadang lebih besar

Dari keuntungan yang didapat//

Apalagi/ jika yang membayar

Bukan mereka yang paling

Menikmati kue ekonomi//

Bahkan jika tragedi itu

Menjangkau sampai

pusat-pusat ekonomi dan pusat populasi/

Korban yang ditimbulkan akan semakin besar//

Lalu/ dengan dalih untuk mencari solusi

Untuk semua masalah ini/

Sekelompok manusia yang berkuasa/

Membuat kebijakan yang justru/

Berpotensi memperburuk keadaan di masa depan/

Yakni kembali menuntut pengorbanan

Alam dan seisinya//

Lalu lingkaran masalah yang sama

Akan terulang di masa yang akan datang//

Bahkan jika keputusan itu/

Murni untuk kepentingan bersama/

Dan tanpa konflik kepentingan sedikit pun//

Di sisi lain/ untuk memperbaiki lingkungan/

Justru tak melibatkan mereka

Yang paling berkepentingan//

Pelestarian hutan/ diserahkan kepada

Mereka yang hidupnya tidak tergantung

Secara langsung pada hutan//

Sementara yang terdekat/

Justru hanya menonton//

Menonton bagaimana dulu hutan dirusak/

Dan kini/ menonton bagaimana/

Konon hutan akan dipulihkan/

Lewat berbagai proyek yang tak mereka pahami//

Padahal/ justru dari bangku penonton inilah/

Pertunjukan keserasian antara alam dan kebutuhan hidup/

Telah dipentaskan selama ribuan tahun//“

Saya tiba-tiba kepikir lagu Iwan Fals untuk anaknya, Galang Rambu Anarki. Cuma liriknya diubah jadi begini: “tinjulah congkaknya negara buah hatiku, doa kami di nadimu”. []

No comments:

Post a Comment