“Bandung emang ga ada matinya”
Rasanya
tak berlebihan kalimat itu terlontar bagi sang kota kembang. Bandung
memang selalu hidup, terlebih apresiasi seni dan industri kreatifnya,
karenanya tak heran banyak musisi yang lahir dari ibu kota tanah sunda
itu. Bukti tingginya penghormatan karya seni itu terlihat dari frekuensi
penyelenggaraan pentas seni (pensi) disana. Setidaknya 2 minggu
terakhir ini ada 2 gelaran seni yang telah dan akan saya hadiri. Event
yang saya singgahi sabtu lalu adalah sebuah event bertajuk Bandoengsche
(baca: bandungs). Bandoengsche adalah poin akhir rangkaian acara yang
digelar oleh Permib, Perhimpunan Mahasiswa IT Telkom Bandung. Acara yang
digelar sejak awal waktu ashar itu diramaikan dengan lantunan melodi
beberapa musisi yang diantaranya adalah Deu Galih and Folks, Polyester
Embassy, CUTS, hingga Sarasvati. Sekarang mari kita ulas para musikus
yang turut andil dalam Bandoengsche.
Band pertama yang resmi
menginjak panggung Bandoengsche adalah Raspberry. Kuartet classic rock
itu tampil dalam naungan rambut gondrong dan tubuh yang dibalut kemeja a
la penganut grunge.
Setelah
para skuad rock 80’s itu turun panggung, giliran Coza mewarnai Sabtu
sore yang berangin itu. Coza beranggotakan para mahasiswa UNPAR. Dua
lagu cover milik The Groove dan Chrisye yang dibawakannya seakan minim
inovasi. Satu-satunya magnet penampilan mereka adalah sang vokalis.
Bahkan fotografer di depan panggung itu rela dihujami terik matahari
demi memotret sang biduan melalui perspektif katak ke arah rok mininya.
Perang
dunia pertama dipicu oleh pembunuhan pangeran Franz Ferdinand oleh
seorang pembunuh bernama Gavrilo Princip. Ternyata pembunuh itu hidup
lagi dan memainkan rock n roll. Gavrilo yang tutup usia tahun 1918 itu
kini hadir dalam bentuk lain. Gavrilo Princip menjadi nama sebuah band
yang dikomandoi vokalis jenaka yang malam harinya menjadi MC di acara
itu. Tak banyak kesan dari penampilan mereka.
Bandoengsche
memberi kesempatan kepada lima band untuk diaudisi dan mereka yang
terbaik akan tampil di awal acara. Tiga band pertama usai menunaikan
tugasnya. Band keempat yang tampil di acara itu adalah Simple.
Simplisitas Simple memang tercermin dari namanya. Mereka tampil bertiga
dengan formasi dua gitar dan satu djembe. Semua lagu yang mereka bawakan
adalah bukan lagu mereka sendiri. Menyaksikan mereka tampil seakan
menikmati nyanyian iseng di kamar kos bersama teman sebaya dengan alat
yang seadanya. Meski telah tampil maksimal (bahkan jari penabuh djembe
sempat berdarah), saya menyesal tidak menggunakan sesi penampilan mereka
untuk rehat solat ashar.
Wehweh
and the blehbleh. Ya, itu nama bandnya. Suara vokalnya mirip Ras
Muhammad, musiknya tentu saja berkiblat kepada yang mulia pujaan jutaan
umat Bob Marley. Kawanan enerjik ini benar-benar impresif. Ritme
tradisional turut disisipkan dalam kemasan yang didominasi musik Amerika
Tengah itu.
Akhirnya, lima band audisi usai
meramaikan sore itu, giliran adik-adik kita unjung kemampuan
motoriknya. Selain pagelaran Bandoengsche ini, Permib juga mengadakan
kegiatan lomba, diantaranya lomba modern dance dan vocal group. Penari
modern yang menjuarai kompetisi itu ditampilkan di Bandoengsche, mereka
adalah para siswi SMAN 7 Bandung. Lihat saja panitia di belakang layar
yang khidmat menyimak para dancer itu, sedemikian atraktiflah penampilan
mereka sore itu.
Deu
Galih And Folks adalah performer selanjutnya. Banyak alat musik yang
mereka mainkan. Personilnya kebanyakan sudah dipanggil "Bapak". Galih
adalah vokalis yang murtad dari jalur awalnya, grunge. Deu Galih and
Folks menyuarakan lagu dengan lirik yang bercerita tentang kehidupan
anak kecil. Kata ini rasanya cukup untuk mewakili penampilan mereka,
impresif.


Setelah
Deu Galih and Folks, ada Twisterella. Musik yang mereka nyanyikan
sepertinya berbahan dasar sama dengan komposisi lagu Hear and Answer
milik Topi Jerami, tentu dengan racikan yang berbeda. Tak habis selagu
pun dari mereka, saya dan Van langsung meluncur ke Universitas Widyatama
untuk bersilaturahmi dengan duo pujaan kami, Bottlesmoker. Di
universitas itu, kami berhasil menemui Angkuy dan Nobi, berbagi produk
musikal (proyek solo Van dan album kompilasi MAX!!), hingga berdiskusi
tentang berbagai hal, mulai dari tempat kelahiran Angkuy, proses meniti
suksesnya Bottlesmoker, dll. Transkrip pembicaraan bersama Angkuy itu
akan saya terbitkan di rubrik terpisah di blog kesayangan kita bersama
ini (tentu setelah mendapat persetujuan dari narasumber). Jadi, jangan
kemana-mana, sering-seringlah mampir kesini. Hehe.
Sekitar jam 3
sore hari itu, kami hadir di arena Bandoengsche. Saat memarkir motor,
raungan suara C.U.T.S. sudah menggema. Dengan langkah seribu saya dan
Van menuju panggung. Ternyata Caustics Ultraist Totally Slice hanya
melakukan check sound. Baru malamnya, sekembalinya lagi ke Dago Tea
House, CUTS mulai menggila. Event ini adalah kesempatan pertama saya
menyaksikan mereka tampil. Saya benar-benar terkesan dengan penampilan
mereka. Saya juga menyesal mengorbankan koleksi lagu mereka demi ruang
kapasitas data yang lebih besar di laptop saya. Sudahlah, mari simak
pancaran pesona CUTS.






Kira-kira
apa relasi antara angsa dan serigala ya, sehingga koloni musisi ini
menamai dirinya Angsa dan Serigala? Entahlah, yang pasti mereka adalah
manusia-manusia jenius yang mengemas pesan-pesan humanis dengan musik
yang megah. Alat musik gesek, pukul, hingga tiup yang ditimpali dentum
bass yang tebal, semua berbaur menjadi sajian audio-visual yang memukau.
Coba tengok sosok bassis yang memasang strap bassnya di modus paling
panjang, mirip Krist Noviselic-nya Nirvana yang diet super ketat dan
memakai topeng Rudi Wowor. Di sayap seberang bassis, bertengger seorang
violinis yang masih duduk di bangku SMP kelas 1. Bocah itu memainkan
biolanya sambil sesekali memejamkan mata, begitu dramatis. Hadirin yang
berbahagia, mari simak kawanan Angsa dan Serigala.






Band
satu ini terkenal dengan musiknya yang tak biasa, mereka adalah
Polyester Embassy. Coba perhatikan paras sang vokalis, bukankah dia
mirip presiden kita saat beliau muda dulu? Ajaib!







Mari rehat sejenak, tinggalkan dulu format drum-gitar-mic. Sekarang waktunya grup vokal SMAN 7 Bandung unjuk suara.
Ini
dia, penampil yang sangat tepat mengiringi langit yang diterangi
rembulan merah menyala malam itu, Sarasvati. Saat tampil di
Bandoengsche, Risa Saraswati sang kapten orkestra mengajak sosok Peter,
tokoh mistik yang menginspirasi pembuatan albumnya. Tentu saja Peter
yang dia ajak bukan Peter asli yang sebenarnya makhluk nonmaterial
(setidaknya itulah yang saya yakini). Jika memang itu Peter si hantu,
kenapa Teh Risa tidak sekalian saja mengundang Pocong Ngesot, atau hantu
jeruk purut mungkin? atau hantu jeruk garut mungkin? Mungkin di lain
kesempatan ya Teh.




No comments:
Post a Comment