Saya baru khatam menonton sebuah film dokumenter, judulnya The Class of 92. Film ini berkisah tentang 6 orang pemain bola tim Manchester United yang direkrut divisi pengembangan pemain baru pada tahun 1992. Mereka adalah David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, Gary Neville, Philip Neville dan Nicky Butt. Keenam orang ini, tujuh tahun setelah mereka merumput bersama, meraih gelar treble winner. Gelar itu disematkan bagi tim yang berhasil meraih juara di tiga kompetisi besar.
Saya suka film ini karena ia begitu intim dengan penontonnya. Maksud saya, pembawaannya seperti reuni para bintang lapangan itu setelah mereka lama tak berjumpa dan bahkan lama pula tak duduk di bangku yang biasa mereka gunakan untuk berganti kostum. Yang juga menarik, berbagai hal yang terjadi di lapangan kala mereka aktif bermain, diungkap satu per satu, dan dikomentari juga oleh tokoh lain di luar enam orang itu. Ada Mani basis band Stone Roses yang jadi penegas bahwa kota bandnya dan Manchester United bagaikan senar dan tala, atau gawang dan jala. Simak juga tuturan Zinedine Zidane yang mengomentari kawanan itu sebagai sesama pemain bola dari luar Inggris Raya. Tony Blair pun turut serta. Mantan perdana menteri Inggris itu memperhatikan betul bagaimana dinamika si setan merah saat para punggawa Kelas Angkatan 92 itu sama-sama dewasa.
Selain mengulas laga krusial ketika mereka meraih tiga tropi sekaligus, satu per satu personil kelas itu memperkenalkan diri dan dikenalkan teman-temannya. Tiap pemain punya ciri khasnya sendiri. Scholes yang ulung mengumpan, Giggs yang tak lelah bermain hingga 15 tahun setelah Platini pensiun (si pemilik tendangan kung fu ini juga jadi narasumber), hingga Beckham yang dijuluki si pria cantik (pretty boy).
Khusus tentang Beckham, saya merasa setuju dengan komentar Zidane bahwa suami Victoria eks-biduan di kelompok Spice Girls itu memang sepertinya rendah hati. Zidane bilang bahwa Becks selalu memperlakukan orang setara. Saya bisa merasakan dari suara dan cara bicaranya. Tapi entahlah. Yang jelas Becks ini mengingatkan saya ke buku Pandji Pragiwaksono dan pernyataan petinju Mohamad Ali.
Beberapa hari lalu saya baru baca buku Indipreneur, buku tentang cara hidup insan kreatif yang ingin bertahan dengan karyanya. Buku buatan Pandji Pragiwaksono itu begitu kaya informasi. Dalam bukunya ini ia merumuskan delapan hal penting yang jadi komponen kesuksekan mandiri dari karya sendiri. Yang pertama produk. Agar seorang seniman sintas, tentu ia harus punya produk yang bagus. Agar produk kita bagus, latihan rutin jadi syarat utama. Pandji mencontohkan Kobe Brant yang latihan teknik dasar basket 6 jam selama enam hari, hingga Lil Wayne yang selalu melatih bernyanyi hiphop tanpa lirik. Dalam film The Class of 92, diungkaplah bahwa rahasia dibalik tembakan akurat Beckham, adalah latihan rutin. Saya kemudian teringat ke sebuah poster bergambar petinju Mohamad Ali yang tegak memandangi lawannya yang tumbang. Di bagian kanannya tertulis: i hated every minute of training, but I said, "Don't quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion". [rhezaardiansyah]
No comments:
Post a Comment