Tuesday, January 26, 2016

Telaah Film The Colour of Paradise

Life is tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot. - Charlie Chaplin -
Jika merujuk ke pendapat sang maestro seni peran di atas, maka film yang kita bahas adalah sebuah close-up, meski judulnya mengecoh: The Colour of Paradise. Film ini disutradarai oleh Majid Majidi, sineas yang tahun 2015 lalu merilis film terbarunya berjudul Muhammad, kisah tentang nabinya para muslim.

The Colour of Paradise (1999) berkisah tentang anak bernama Mohammad. Ia seorang tunanetra yang disekolahkan di panti khusus ibu kota Iran. Ketika itu libur panjang tiba. Sementara siswa lain dijemput orang tuanya, Mohammad seakan ditelantarkan. Rupanya sang ayah memang ingin menitipkan anaknya lebih lama di sana. Ayah Mohammad tidak ingin calon istrinya tahu bahwa anaknya tidak sempurna. Meski kemudian Mohammad dibawa pulang, permasalahan yang dihadapi keluarga kecil itu terus berjalinan. Penonton pun akan bisa bersimpati terhadap keputusan sang ayah yang semula terkesan salah. Dari sudut pandang lain, The Colour of Paradise secara cukup lengkap menyajikan katastropi, humor dan misteri, meski terasa tanggung. Kita pun akan dihadapkan ke berbagai pembahasan. Dari penerimaan kaum difabel, pendidikan inklusi, hingga budaya lamar-melamar ala Iran. Ulasan di bawah ini merupakan buah dari diskusi di gelaran RASSA produksi ke-23 yang bergulir usai film berdurasi sekitar satu setengah jam itu diputar.

Dengan judul yang menjanjikan keindahan, The Colour of Paradise memang menampilkan gambaran surgawi. Dataran tinggi sebuah pedalaman di Iran, hijau di perbukitan, bunga bermekaran. Kecantikan itu kemudian ditabrakkan dengan kondisi Mohammad yang buta. Paradoks demikian juga dilengkapi dengan selipan dialog yang berkaitan satu sama lain. Contohnya ketika Mohammad menghadiahkan neneknya sebuah bros di ladang, sementara adik-adiknya ia beri kalung berbahan tutup botol. Di adegan awal film ada skena tentang tempat tidur Mohammad yang berantakan dengan sampah itu. Sementara di deret adegan setelah penghadiahan tadi, kisah nenek dan bros pemberian Mohammad menjadi simbol tersendiri.

 Di latar tempat yang sama, Mohammad diceritakan peka dengan berbagai tanda alam di sekitarnya: dari ragam suara burung, hingga bilangan daun dan bebijian yang ia hitung dengan jarinya. Adakah itu berkaitan dengan kecakapannya menggunakan huruf braile—yang menegaskan bahwa dirinya tak berbeda dengan anak lain? Apakah itu simbol keterkaitan antara kelahiran huruf braille dan pertanda alam? Pada tahun 1834 Louis Braille memang menyempurnakan huruf kreasinya. Ia terinspirasi dari penggunaan sandi rahasia di kalangan militer. Maka keterkaitan Mohammad dengan hal natural tadi, nampaknya tidak merujuk ke sana.

Keterbukaan terhadap pemaknaan, di film ini memang tidak cuma ada satu. Ia hadir agar penonton mendapat ruang penafsirannya sendiri-sendiri. Simak misalnya bagaimana kematian digambarkan dengan cahaya, yang sekaligus juga membuka kesempatan lain untuk memaknai sebuah adegan di akhir film. Hal serupa ditunjukkan ketika misalnya lukisan buatan Rusli selalu mendapat pemaknaan baru, karena justru itulah yang membedakan lukisan dengan fotografi. Pembiaran lubang untuk diisi penonton itu pula yang menjadikan film berbeda dari novel, sekalipun keduanya kisah yang sama. Estetika yang belum selesai, justru membuka adanya makna baru. []

002 
Suasana diskusi di lantai atas Rumah Bersama Metta di Bogor

No comments:

Post a Comment