Monday, January 4, 2016

Sabda Charlie Chaplin Dalam Film Ngenest

Ngenest bagi saya dengan baik menghadirkan sebuah realita dalam bingkai tawa. Penonton akan ditarik ke masa lalu kala peranakan tionghoa mendapat perlakuan berbeda dari warga negara mayoritas di negara Indonesia tercinta ini. Satir itu segar menghentak sejak adegan pertama. Seorang anak hendak masuk kelas barunya, lalu ia diledek dengan sebutan "cina" saat menyebut kelas tujuannya. Bertubi-tubi, kegetiran yang lucu (atau kelucuan yang getir) serupa terus dihadirkan menyindir kenyataan yang memang demikian pernah terjadi. Itu mengingatkan saya ke pernyataan charlie chaplin, bahwa hidup adalah tragedi ketika dipandang dalam komposisi close up, namun justru komedi kala dilihat dalam adonan visual long-shot.

Film ini disutradarai seorang komika Ernest Prakasa. Ia pula yang menjadi bintang utama plus penulis skenario. Ernest jugalah yang menulis buku trilogi yang jadi pijakan kisah berdurasi sekitar 90 menit itu. Ia berperan sebagai dirinya sendiri dan beradu akting dengan Morgan Oey yang menjadi Patrick, sahabat Ernest sejak kecil. Deretan dialog di film ini pun mengalir sedemikian khas Ernest Prakasa. Simak ketika tokoh patrick memaparkan "filosofi tokay", yang mengingatkan saya ke gaya materi dan pembawaan komika juara 2 kompetisi komedi tunggal Kompas TV tahun 2011 itu. Ernest tanpa risih membahas hal yang mestinya dirasa menjijikan. Tanda tangan Ernest pun tampak di adegan yang serupa dengan sebuah bit tentang aktivitas seksual dengan istrinya. Meski mengandung materi yang biasanya dicerna penonton dewasa, kategori film ini digolongkan ke dalam kelas penonton 13+. Saya merasa itu kurang tepat. 

Yang juga perlu diapresiasi dari film ini, adalah dukungan akting para komika rekan seprofesi Ernest. Mereka juga tampil dengan gaya khas masing-masing. Awe dan Adjis Doa Ibu bagai punakawan di kisah pewayangan. Selipan keseharian mereka sebagai teman kos Ernest mampu menjaga ritme kisah dalam rangkain kejenakaan yang konstan. Tengok pula Ge Pamungkas. Juara 1 kompetisi Stand Up Comedy Indonesia kompas TV tahun 2012 itu sekali lagi membuktikan kebolehannya dalam seni peran. Setelah sebelumnya tampil di film Negeri Van Oranje sebagai seorang kikuk yang jenaka, di sini ia menjadi rekan kerja Ernest yang polos, ceplas ceplos dan bicara dengan rahang bawah terdorong ke depan. Saya jadi ingat sosok Don Corleone di film Godfather. Marlon Brando harus menggunakan alat penahan yang diselipkan di sela gusinya agar bentuk mukanya "melorot". Ge mengakali diri demiki karakter yang diperankannya tanpa alat apa-apa. Itu terlihat di skena penutup ketika kemeriahan pasca pengambilan gambar diperlihatkan. Dalam hal ini, Ge benar-benar berakting. 

Pada akhirnya, wujud karya baru Ernest Prakasa ini mengingatkan saya bahwa karakter pekerja seni dewasa ini tidak hanya didefinisikan dalam satu perimeter. Ernest tak hanya bisa disebut komika, tapi juga sutradara, penulis buku, juga penggubah skrip film. Pandji Pragiwaksono (kenapa dia gak diajak main film juga ya?) menyebut generasi demikian dengan nama vincinian. Sekali lagi Ernest mengingatkan, bahwa untuk sintas dan naik kelas, generasi hari ini mungkin perlu menjadi Vincinian. []

2 comments: