Judulnya memang seakan-akan ini film tentang suasana di hari pembalasan. Orang baik akan sukses melintas titian serambut dibelah tujuh, atau sebaliknya. Ternyata, tidak ada akhirat di film ini, melainkan sebuah "tanah jahanam".
Saya sebut "tanah jahanam" karena kampung itu dikisahkan sarat dengan prasangka. Ada seorang gadis yang dituduh kerasukan setan.
Padahal dia gila gara-gara difitnah. Nasib buruk si gadis berkaitan dengan seorang ahli agama yang ternyata tak sebaik ajarannya.
Ke sanalah Ibrahim datang. Dia seorang guru mengaji. Alih-alih ditakuti murid semacam ahli agama tadi, Ibrahim justru disukai.
Meski begitu, dia punya tantangan lain. Pertama, menyadarkan penduduk kampung agar jangan termakan hoaks--tentu saja istilah itu nggak ada di film produksi tahun 1982 ini. Kedua, sesuai judul film, Ibrahim harus selamat dari fitnah yang menimpa dirinya sendiri.
Isu simpang siur informasi, rupanya relevan sampai hari ini. Kita mudah ambil contoh soal ini: dari peristiwa di sekitar momen pemilihan umum, hingga pengelolaan pandemi covid-19.
Dalam konteks kala itu, saya lebih suka mengaitkan makna bahwa persekusi terhadap si gadis yang dituduh kerasukan tadi, rupanya kritik atas pelabelan komunis di masa ketika Presiden Soeharto berkuasa. Selama 30 tahun itu, mayoritas penduduk Indonesia saling curiga.
Ratusan ribu hingga jutaan orang kemudian meninggal tanpa melewati pengadilan, cuma gara-gara sebuah tuduhan yang belum tentu betul. Dan kalau pun betul, masa iya pembunuhan musti jadi ujungnya.
Titian Serambut Dibelah Tujuh juga menyisipkan sentilan soal kepemimpinan. Ada seorang karakter kakek pengembara yang muncul di awal dan akhir kisah.
Ia sempat memperingatkan bahwa warga kampung yang akan didatangi Ibrahim ibarat layangan putus. Sementara di akhir, Ibrahim diingatkan si kakek tentang memanfaatkan kepercayaan warga buat si guru ngaji. Sekali lagi, di masa ketika kritik harus dibuat sesubtil mungkin, rasanya di sanalah beberapa hal menemukan makna. []
No comments:
Post a Comment