The Beatles Belum Selesai
The Beatles bubar tahun 1970--Paul McCartney mundur dari band bulan April tahun itu. Kata bubar, barangkali lekat pula dengan makna selesai. Sudah. Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Meski begitu, lain hal dengan kisah dari The Fabolous Four.
Lebih dari 50 tahun kemudian, di tahun 2021, masih ada hal baru tentang kuartet asal Liverpool itu. Sebuah film dokumenter dengan sutradara Peter Jackson, dirilis di kanal OTT Disney+ tentang masa-masa akhir The Beatles. Judulnya Get Back.
8 Days a Week
Get Back belum saya simak, tapi saya nonton film "8 Days a Week"--dokumenter buatan Ron Howard dari tahun 2016. Selama 2 jam 17 menit, kisah The Beatles dituturkan dari berbagai macam sudut pandang. Dari Larry Kane, wartawan yang ngikutin tur mereka di AS tahun 1964-1965, Howard Goodall, komposer yang bandingkan musikalitas The Beatles dengan musisi klasik, sampai tentu saja, Paul McCartney, John Lennon, Ringo Starr, George Harrison--para personel The Beatles.
Buat generasi yang nggak ngalamin popularitas The Beatles saat mereka masih ada, film ini enak ditonton. Banyak arsip penting ditampilkan dari masa itu. Karakter tiap orang di dalamnya pun sekilas tergambar. Misalnya saat semua personel mengenalkan diri. Setelah Harrison mengenalkan diri dan bilang "I play guitar", Lennon ambil gilirannya dan bilang "I play a better guitar". Haha.
Sesuai dengan subjudulnya, selain ceritakan sejarah band, film ini juga fokus ke perjalanan konser mereka. Tur ke tur. Termasuk momen pentas terakhir The Beatles tahun 1969.
Konser itu sebenarnya bukan di atas panggung, tapi di atas gedung. Dibahasnya sekilas. Lagu "Don't Let Me Down" yang dinyanyikan dari atap kantor Apple itu juga jadi pengantar ke credit title.
Tentang Sejarah, dari The Beatles
Film "8 Days a Week" memang terkesan seperti kita melihat The Fab Four dari "pandangan helikopter". Momen penting dalam perjalanan band memang terlihat, tapi terkesan terlalu tampak permukaan. FIlm Get Back, mendalami satu periode utama The Beatles--jelang mereka bubar.
Kisah The Beatles, ternyata belum usai. Faktanya sebuah kejadian ternyata bisa saja tak habis dibahas. Itulah sejarah. Sebuah peristiwa, dimaknai ulang sesuai temuan terbaru. Atau temuan lama dengan konteks baru.
Tentang 1965
Pembaruan serupa, saya alami ketika baca-baca peristiwa geger 1965. Tahun itu orang tua saya baru lahir. Saya dan keluarga pun sangat beruntung karena sama sekali jauh dari dampak langsung kejadian itu: pembantaian ratusan ribu orang. Namun, momen pasca-65 mau nggak mau musti dipelajari kalau kita mau memahami lagi tentang tempat kita tinggal, Indonesia.
Tahun ini, ada tiga sumber yang saya baca. Pertama, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 buatan Wijaya Herlambang. Kedua, majalah Tempo Edisi tanggal 4-10 Oktober 2021, judulnya Umi Sardjono dan Stigma Gerwani. Ketiga, majalah Intisari edisi bulan September bertajuk Tragedi '65 Dalam Ingatan.
Pemahaman Baru
Bacaan yang pertama, baru saya baca sampai halaman 73, dari 333 halaman. Hal baru yang saya dapat dari disertasi doktoral yang dibukukan ini, pemahaman tentang pembiaran.
Di halaman 37, almarhum doktor dari University of Queensland Australia ini menulis: "...pembenaran atas praktik kekerasan melalui produk kebudayaan merupakan bentuk kekerasan juga yang disebut Galtung sebagai 'kekerasan budaya'."
Sudut pandang--yang sekali lagi bagi saya baru--itu menarik karena ternyata, pembiaran atas meninggalnya ratusan ribu orang karena sebuah stigma, dilanggengkan oleh sesuatu yang nampaknya menyenangkan: produk budaya.
Terlalu Sadistis
Bacaan kedua, berupa majalah. Tempo punya tradisi cukup panjang dalam mengingatkan kita soal bahaya peristiwa di tahun 1965 itu. Tepatnya, mengingatkan dan menyajikan sudut pandang lain.
Dalam hal penceritaan Umi Sardjono, saya nggak yakin mana lebih dominan. Soalnya bacanya nggak selesai. Saya nggak kuat baca deskripsi nonmanusiawi tentang apa yang dialami seorang perempuan di masa kelam itu. Bahkan binatang pun nggak diperlakukan serendah itu.
Ingatan tentang Tragedi '65
Majalah intisari usianya tahun 2021 ini sudah masuk bilangan 58. Terbitan sekepalan tangan dengan jargon histori, biografi dan tradisi ini rilis edisi berjudul "Tragedi '65 Dalam Ingatan".
Ingatan tentang hidup pasca hari naas itu, dikisahkan dari 7 orang hidup manusia. Dari santri yang "belok kiri", saintis yang terbuang di Eropa, hingga seorang tokoh kunci malam tanggal 30 September itu: Letkol Untung.
"Kisah-Kisah Lucu Seputar Gestapu" melengkapi edisi ini. Lucu tanpa terkesan menertawakan duka. Misal, dikutip dari Kompas 4 Desember 1965: seorang pemuda gentar karena merasa diikuti dua perempuan dengan pisau yang ia takuti sebagai Gerwani--dengan stigma terhadap anggota organisasi itu yang sedemikian fantastis. Ternyata, mereka hanya mau bantu hajatan. "Beginilah nasib termakan rumor tidak jelas." Begitu bunyi kalimat penutup rubrik itu.
September Nanti, Apa Lagi?
Tahun depan, September bakal datang lagi. Lalu apa? Setidaknya dua. Nomor satu, berhati-hatilah dengan siapa pun yang berkuasa. Di ranah mana pun. Kedua, waspadalah dengan siapa pun yang mengatasnamakan narasi yang dibuat si penguasa untuk melakukan sesuatu terhadapmu.
Setidaknya, dua itulah yang saya pahami kali ini. Lain kali, mungkin beda lagi. Tergantung pemaknaan baru atau temuan baru tadi.
Dan sejauh yang saya tangkap soal bubarnya The Beatles, pangkalnya ada di salah ucap Lennon soal Yesus Kristus. Mirip kasus Ahok di Indonesia tahun 2016 lalu. Coba kita tonton Get Back, barangkali ada yang motong kalimat penistaan itu. []
No comments:
Post a Comment