Friday, September 27, 2013

Wukir Tanpa Bambu Wukir

Oleh : Rheza Ardiansyah


Hari kesepuluh di bulan kesembilan, saya memaksakan hadir ke sebuah forum diskusi musik di rangkaian pameran bienal OK Video. Yang paling membuat saya ingin hadir adalah penampilan Wukir Suryadi, seorang musikus asal Yogyakarta yang dikenal karena instrumennya yang selalu khas. Saya kira pas tiba disana, pas diskusi usai dan Wukir bersama kawannya sudah tinggal beraksi. Nyatanya tidak. Saya hadir ketika diskusi masih berlangsung, meski sudah di bagian akhir. 


Ada jeda antara sesi diskusi dan pertunjukan Wukir dkk yang kala itu tergabung dalam proyek bernama The Instrument Builder. Di sela sesi kopi-rokok itulah, saya berkesempatan berbincang singkat dengan salah satu dari personil duo Senyawa ini. Berikut isi percakapan kami:



Pertama. Ini instrumen keberapa yang Mas buat? 
Mungkin diatas 20. Diatas 15 lah.

Artinya instrumen yang diciptakan sendiri dan belum ada sebelumnya?
Ehm, apa ya. Kalau kata I Wayan Sadre, ketika kita menciptakan bunyi itu selalu berhubungan dengan bunyi sebelumnya. jadi  sebenarnya yang baru sama sekali itu aku pikir ga ada ya. Selalu berhubungan dengan yang masa lalu. Cuma kita memberi makna baru. Kayak akar mahoni, aku kan memberi makna baru. Seperti halnya instrumenku yang dari garu, dia dari teknologi pertanian jaman dahulu. Itu kan fungsinya untuk bertani. Terus aku memungsikannya sebagai instrument dan ternyata menarik. Ketika aku memainkan di scene hardcore itu anak muda terperangah. Karena  seperti mendapat hal yang belum mereka dapat sebelumnya. Kadang-kadang disitulah yang membuat aku selalu bekerja di wilayah instrument bulder. Hawanya dari anak muda, ketika mereka bilang "wow. apa ini?". Jadi kan mempertanyakan kembali. Oh ini garu? Seoerti menggelitik memori mereka tentang alam di sekitarnya, tentang Indonesia. Itu paling enggak sebagai pemicu untuk berpikir lebih luas tentang dimana dia lahir, dimana dia hidup, dan bisa menjadi sarana untuk berekspersi.

Bersama The Instrument Builders, Mas membuat sebuah instrumen baru?
Teman-teman sepakat ngasih nama akar mahoni, jadi ini instrument kolaborasi antara aku, ucok (Andreas Siagian), pia (Pia Van Gelder), sama dari Australi sama Michael Candy. Sebenarnya metode bekerja ku adalah seringkali salah satunya adalah merespon lingkungan, artinya merespon apa yang ada di sekitar kita, seperti bambu. Itu kan karena aku merespon kondisi saat itu. Dimana aku pada saat itu hidup, di lingkungan yang banyak bambu. Akhirnya aku merespon itu. Ini juga akar, awalnya cuman akar. Kalau dibawa ke Jogja ya jadi kayu bakar aja. Tapi ketika dimaknai seperti ini kan beda.




Pembicaraan kami kemudian diinterupsi ajakan seorang panitia yang mempersilakan Wukir naik pentas. Wukir dan Ucok pun siaga di balik instrumen mereka. Keduanya tak sempat berembug untuk membuat sebuah komposisi baku dengan kedua instrumen mereka. The Instrument Builder yang diwakili kehadirannya oleh Wukir dan Ucok kemudian jamming, memainkan musik secara spontan. Wukir mengawali komposisi dengan akar mahoninya. Ucok kemudian menimpali dengan Glassbell yang ia rancang bersama Asep Nata. 



Kiri: lempeng logam buatan Asep Nata
Kanan: gelas pyrex yang jadi sumber suara. Dibuat oleh Ucok/Andreas Siagian
Glassbell ini dimainkan dengan menempelkan kabel-kabel ke dinamo untuk menggerakkan alat pemukul yang nantinya membunyikan gelas kimia berbahan pyrex. Tiga lempengan logam juga terpasang dalam Glassbell. Ketiganya mampu memproduksi enam tangga nada. Betul, enam tangga nada, buka tujuh (do, re, mi, fa, sol, la, si) atau lima (da, mi, na, ti, la). Ditanyai soal nama keenam tangga nada itu, Ucok mengaku tak tahu. Sarjana teknik sipil yang lahir dari skena musik elektronik ini ia buat sebagai instrumen elektronik yang tetap memiliki unsur akustik. Listrik digunakan untuk menggerakan pemukul, bunyinya sendiri diproduksi secara akustik. Selain itu, bunyi interferensi gelombang radio memberi warna tersendiri bagi bunyi yang timbul dari alat musik ini.


Wukir Suryadi dan Akar Mahoni
Andreas Siagian dan Glassbell
Seperangkat instrumen karya The Instrument Builder
Wukir sempat membakar salah satu bagian Akar Mahoni untuk ditempeli kuningan,
namun waktu penempelan tidak mencukupi


Pertunjukan musik mereka berlangsung selama belasan menit. Saya kira mereka akan menampilkan beberapa nomor, ternyata itu titel tunggal, dan saya tidak merekamnya. Pengalaman menikmati musik instrumental malam itu cukup memuaskan. Meski saya masih penasaran untuk menyaksikan Wukir memainkan instrumen pusakanya bersama Senyawa, Bambu Wukir. 


No comments:

Post a Comment