Dalam salah satu bukunya, filsuf Franz Magnis-Suseno menulis
pendapat Friedrich Engels bahwa ada tiga orang yang mendasari pengetahuan
manusia tentang alam raya dan dirinya sendiri: Karl Marx, Isaac Newton, dan
Charles Darwin.
Marx
“Menurut Engels, seperti Newton menemukan hukum fisika yang mendasari segala gerak dan perkembangan di alam raya, dan seperti Darwin yang menemukan hukum perkembangan segala jenis organisme, Marx menemukan hukum yang terwujud dalam sejarah perkembangan umat manusia.” (Dari Mao ke Marcuse, 2013:18)
Nama Marx dibahas terakhir karena buku yang memuat sitasi
itu, memang berisi kritik atas pemikiran Marx. Dalam bagian kata pengantar buku
Pemikiran Karl Marx (1993) yang juga ditulis Franz Magnis-Suseno, ia mengakui
“tanpa pemikiran Karl Marx, abad ke-20 akan berlangsung sangat berbeda”. Meski
begitu, dalam buku yang sama, Romo Magnis menulis kalimat penutup yang
merangkum seluruh uraian 270 halaman yang ia tulis:
“Jadi, meskipun banyak dari teori Karl Marx sekarang hanya menarik perhatian secara historis dan tidak lagi secara sistematis, cita-cita emansipasi dan kritik terhadap eksploitasi manusia oleh manusia tampak tetap aktual.” (Pemikiran Karl Marx, 1993: 270)
Irelevansi pemikiran Karl Marx, juga didukung dalam sebuah
nukilan kalimat yang ditulis filsuf—yang disebut-sebut paling berpengaruh (atau
populer?) di abad ke-21—Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus:
“Seandainya Marx hidup lagi hari ini, dia mungkin akan mendesak segelintir muridnya yang masih tersisa untuk mengurangi waktu untuk membaca Das Kapital dan mencurahkan waktu lebih banyak untuk mempelajari Internet dan gen manusia.” (Homo Deus, 2015: 315)
Pada kenyataannya ada juga yang menilai ide sosialisme
yang—salah satunya—disuarakan Marx masih tetap penting. Sebuah anekdot
berbunyi:
“Jika ketika muda kamu bukan marxis, maka kamu tidak punya hati. Tapi ketika dewasa kamu bukan seorang kapitalis, kamu tidak punya otak.”
Newton
Demikianlah ide dan pemikiran bergulat untuk mengakali atau
menjelaskan realita. Pemikiran Marx bukan satu-satunya yang diperdebatkan.
Hukum fisika Newton pun pada perjalanannya dalam dimensi waktu, mengalami
aktualisasi. Gagasan Newton kini dikenal dengan konsep fisika klasik. Sementara
fenomena fisika yang tidak bisa dijelaskan oleh buah pemikiran Newton, bisa
dimengerti dengan konsep lain. Misalnya fisika kuantum.
Darwin
Begitu juga dengan teori evolusi yang ditulis Charles Darwin
dalam bukunya On The Origin of Species. Saya belum pernah baca bukunya. Meski
begitu, baru-baru ini saya nonton film dokumenter produksi HBO berjudul
Questioning Darwin.
Film berdurasi hampir satu jam ini, menghadapkan ilmuwan
dengan agamawan. Para pemuka gereja dan penganut kristiani yang diwawancara,
percaya dengan konsep kreasionisme. Bahwa Tuhan menciptakan makhluk hidup dalam
enam hari. Sementara, teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup berevolusi
dalam rentang waktu panjang. Dari satu sel, membelah diri, memperbanyak jumlah,
hingga bervariasi menjadi keanekaragaman hayati.
Perdebatan tentang penciptaan itu sebenarnya disajikan
membosankan. Terlalu banyak orang bicara. Ilustrasi perjalanan Darwin ke pulau
Galapagos memang ada meski tidak banyak. Foto dan kunjungan ke rumah yang
pernah ditempati keluarga Darwin juga ditampilkan. Di sanalah ia berkeluarga dengan
sepupunya hingga memiliki 10 anak—tiga diantaranya meninggal semasa kecil.
Seorang narasumber berkisah tentang keajaiban yang dirinya
alami ketika mengalami kondisi sakit. Doa dan pengobatannya berbuah kesembuhan.
Dia lalu mengajak, “I would love to encourage Mr. Darwin and other who feels
just like him to try God.”
Penderitaan serupa sebenarnya pernah dialami keluarga
Darwin. Putri kesayangannya, Annie Darwin, meninggal di usia 10 tahun karena penyakit
TBC. Sejumlah sejarawan mencatat momen itu justru menjadi titik balik
kepercayaan Darwin atas Tuhan—meski ada pula yang menyebut bahwa proses
kehilangan iman itu gradual dan kompleks.
Di Indonesia, perdebatan serupa pernah terjadi. Seorang edukator
biologi, Prasdianto, menulis surat sanggahan setelah seseorang menulis opini
tentang pendidikan biologi dan evolusi. Yang membuat dia kesal, tulisan itu
tendensius, miskin data dan dimuat di majalah PC Media—majalah komputer. Intinya,
Pras menyerang balik tuduhan bahwa “guru biologi memaksakan teori evolusi”, “biolog
tidak membaca buku Darwin”, hingga “manusia adalah keturunan monyet”. Tulisan selengkapnya
bisa dibaca di tautan ini.
Film Questioning Darwin juga merekam momen ketika ia
bersurat dengan seseorang tentang perbedaan morfologi hewan di Galapagos
dibanding pulau besar Amerika Selatan. Sejarah mencatat, ia berkorespondensi
dengan naturalis lain yang meneliti fenomena serupa di kepulauan nusantara—yang
kini jadi wilayah Indonesia.
Namanya Alfred Russel Wallace. Wallace
sendiri—yang saat itu tinggal di Ternate—dikenal dengan garis imajiner yang
membatasi dua daratan besar di masa lalu. Teorinya tentang garis Wallace menjelaskan
tentang perbedaan jenis hewan di daerah timur Indonesia dan bagian barat.
Terlepas dari pertanyaan tentang peran Wallace dalam teori
evolusi dan kepercayaan Darwin atas Tuhan, yang pasti evolusi jadi salah satu
cara bagi manusia memahami alam. Teori evolusi—seperti yang ditulis Prasdianto—membuat
manusia (harusnya) meruntuhkan keangkuhan dalam mengeksploitasi makhluk lain:
“Jika Copernicus dan Galileo menihilkan bumi sebagai pusat alam semesta, maka Darwin menihilkan manusia sebagai ciptaan spesial.” []
No comments:
Post a Comment