Teks dan foto oleh Rheza Ardiansyah
Sekitar dua bulan sebelum pemilu tiba, komika Ernest Prakasa menutup rangkaian tur ketiganya yang bertajuk Illucinati di Jakarta. Tak hanya menyampaikan analisa jenakanya tentang para kandidat calon presiden, Ernest juga fasih mengisahkan hal personal tentang keluarga kecilnya.
Ruang auditorium Gedung Kesenian Jakarta mendadak gelap setelah komika Arie Kriting menjadi komika pembuka dan David Nurbianto meneriakkan nama pengisi acara utama. Panggung pun dikelipi beragam jenis cahaya. Lalu seorang dengan tangan terikat dan berpenutup kepala dipapah oleh dua sosok berperawakan besar. Setelah didudukkan diatas panggung, muncullah dua pemain wushu unjuk kebolehan dengan pedang dan tombaknya. Mereka menyelamatkan si tersandera. Ikatan tangan dibuka, dan muncullah sosok Ernest Prakasa setelah ia menyingkapkan diri. Aksi pembuka komika berdarah tionghoa ini bahkan dibuka dengan sesuatu yang begitu mengidentifikasi dirinya. Pun demikian dengan materi yang ia sampaikan.
Memulai dengan membahas para martir reformasi, Ernest Prakasa seakan ingin segera membuktikan janji di booklet pertunjukan bahwa ia akan "menginjak pedal dalam-dalam dan melaju lebih kencang". Artinya bisa jadi lebih nekat. Lebih tak takut terhadap respon tidak senang jika ada yang membenci materinya. Tapi sebelum benar-benar menginjak pedal gas, ayah satu anak ini mengendurkan bahasan ke persoalan sekitar pengalaman pribadinya. Potongan kisahnya selama menempuh tur Illucinati dihadirkan kembali. Lalu Ernest menghadirkan menu politik tentang arogansi pejabat hingga keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi. Menjembatani ke topik inti, Ernest menghadirkan si kecil Sky Tierra Solana, anaknya yang berumur empat tahun.