Menyaksikan film 300: Rise of an Empire, seakan memasuki mimpi buruk. Yunani kala itu begitu suram. Ditambah suasana invasi kerajaan Persia dan tumpahan darah perangnya, film itu cukup kuat menghadirkan peradaban lampau yang menyeramkan. Saya sebenarnya ketinggalan 10 menit pertama. Tapi toh saya tetap bisa mengalir dalam alur cerita yang menjadi prekuel sekaligus sekuel film 300 itu. Dikisahkan kerajaan Persia pimpinan raja Xerxes ingin menginvasi Yunani, termasuk Athena dan Sparta. Sparta yang dikenal dengan manusia beringasnya seperti dikisahkan di film pertamanya yang keluar 2007, menyerang penjajah dengan 300 pasukan dan gagal karena pengkhianatan. Beda dengan film pertama yang fokus di para Spartan, kali ini film didominasi pertempuran orang Athena pimpinan Temistokles.
Temistokles adalah jenderal yang berhasil membunuh raja Darius, pimpinan Persia sebelum digantikan Xerxes. Ia memanah dari jarak jauh hingga Darius tewas. Dalam menghadapi invasi kedua Persia ke kotanya, Temistokles berhadapan dengan Artemisia, seorang panglima perang berdarah dingin yang menjadikan dendam pribadi sebagai motifnya menyerang Yunani. Artemisia sebenarnya orang Yunani, tapi keluarganya dibantai tentara sipil. Ia pun tumbuh bersama dendam, setelah seorang Persia menyelamatkan dan melatihnya bertarung. Perang antara pasukan pimpinan Temistokles dan Artemisia inilah inti kisah Rise of an Empire.
Artemisia dan Temistokles banyak bertarung di laut. Pertempuran kedua armada pun menjadi daya tarik tersendiri di film ini. Bagaimana Temistokles berstrategi dengan armadanya, bagaimana kuat dan banyaknya tentara Artemisia, tergambar indah dalam banyak gerak lambat. Kemana para Sparta? Ada. Mereka menolak bergabung dengan Athena karena merasa Sparta adalah wilayah terpisah yang merdeka. Para orang Athena yang rata-rata petani dan pujangga, kemudian harus bertarung tanpa bantuan para manusia brutal dari Sparta. Mampukah mereka menghalau Artemisia dan rajanya Xerxes?
(rhezaardiansyah)
No comments:
Post a Comment