Gelaran Europe On Screen telah usai. Ada tiga film yang sempat saya saksikan dalam pekan penayangan film-film buatan sineas Eropa ini. Berikut ini ketiganya:
The Punk Syndrome
Siapa sangka, empat orang penderita keterbelakangan mental di Finlandia, mampu bersatu dalam sebuah band dan memainkan musik punk. Band bernama Pertti Kurika's Name Day (Pertti Kurikan Nimipäivät) ini bahkan tampil di luar negeri. Mereka juga berkesempatan diundang presiden Finlandia yang baru terpilih dalam sebuah acara pesta. Yang paling menarik dari film ini, tingkah polos keempat personilnya. Mereka punya ciri khas masing-masing.
Pertti si gitaris temperamental punya kebiasaan menuliskan perasaannya dalam sebuah buku harian. Disana ia menulis rasa kesal yang kemudian dijadikan sebuah lagu. Kari Aalto tampil dengan gaya khasnya yang selalu memaju-mundurkan pangkal paha. Soal aksi panggung, Kari ini gak mati gaya. Dia bernyanyi sambil berguling diatas panggung ketika tampil di sebuah pentas. Lalu ada Toni Välitalo, drummer yang sangat polos dan lebih banyak diam. Ekspresinya datar ketika seorang metalhead berteriak semangat ke arah mobil yang bandnya tumpangi, dan itu lucu. Terakhir si bassis Sami Helle. Yang paling menarik dari dia misalnya ketika berolah raga dan celananya melorot.
Tingkah cuek yang natural diatas benar-benar mencerminkan esensi musik punk yang mereka mainkan. Yang juga saya kagumi dari film ini, selain ketekunan sang sutradara, juga kesabaran manager band yang perlu diacungi jempol. Pasti bukan hal mudah mengelola band yang berisi orang-orang yang susah diatur.
Mussels In Love
Film dokumenter ini berkisah tentang kerang. Di Belgia sana, makanan olahan kerang jadi favorit. Perjalanan kerang dari laut sampai meja makan direkam dalam film ini. Gambar-gambar indah yang disajikan dalam film ini didukung musik yang juga nyaman di telinga. Dalam sebuah skena misalnya, si kerang ditampilkan melalui lensa makro diiringi nyanyin setengah berbisik seorang wanita yang berbahasa Perancis. Adem sih, tapi saya malah sempat tertidur di tengah film ini. Haha. Mungkin karena padat data, dan banyak wawancara, jadi ya sedikit membosankan.
Kon Tiki
Yang memotivasi saya memaksakan diri menonton film ini adalah ulasan film ini. Kon Tiki adalah film yang berdasarkan kisah nyata. Tahun 1947, Thor Heyerdahl membangun rakit dan menyeberangi Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke kepulauan Polynesia. Dalam perjalanan, mereka harus menghadapi berbagai rintangan, dari keluar jalur pelayaran, hingga kawanan hiu. Tapi mereka juga menemukan hal-hal indah dalam perjalanan itu. Misi mereka melintasi 8000 mil itu untuk mengulangi apa yang dilakukan leluhurnya. Makanya bagi saya, film ini seperti gabungan film Prometheus dan Life Of Pi.
Saya ketinggalan sekitar 15 menit pertama sih, jadi ga ngikutin banget latar belakangnya. Hehe. Sepertinya saya cukup rugi karena gak ngikutin transformasi si tokoh utama seperti yang diulas di blog Zerosumo. Tapi saya bakal lebih rugi lagi kalau gak nonton film itu sama sekali. Udah nyampe Erasmus Huis aja udah untung sih. Soalnya pas hari Kamis mau nonton Final Cut disana gagal karena nyasar. Haha. Alamat Erasmus Huis di Google Maps menyesatkan sih. Lihat aja peta di bawah. Well, semoga tahun depan makin banyak film bagus yang saya saksikan dalam Europe On Screen. [rheza ardiansyah]