Sunday, October 11, 2015

Perbedaan Film Everest dan Buku Into Thin Air


“Jangan baca bukunya”, Kang Edy langsung melarang saya membaca buku yang terkait dengan film yang baru saya tonton. “Ya pasti lu bilang ‘kok gini?’, ‘kok gitu?’”, ujarnya melengkapi. Buku yang menurut Kang Edy jangan saya baca adalah Into Thin Air, sebuah memoar perjalanan pendakian ke puncak tertinggi dunia: gunung Everest.

Buku yang ditulis tahun 1997 itu memang jadi salah satu acuan pembuatan film Everest (2015). Rupanya, Kang Edy menilai isi film dan buku sumbernya, ternyata berbeda. Perbedaan yang paling kentara, adalah peran sang penulis buku: Jon Krakauer. Wartawan dengan spesialisasi kepenulisan bidang aktivitas alam bebas itu, dalam versi bukunya, berperan lebih besar. Ia tidak hanya memasangkan tali pendakian ketika tali yang dibawa seorang Sherpa telat datang, akibat kendala yang dihadapi seorang pendaki wartawan perempuan. Bagi kamu yang sudah nonton filmnya, tentu ingat adegan itu. Nah, buku Into Thin Air, adalah kesaksian Krakauer yang menjadi bagian dari rombongan dua tim pendaki gunung Everest: kelompok Adventure Consultant dan Mountain Madness.


Alkisah pada tahun 1996, Rob Hall memimpin rombongan pendaki dengan bendera Adventure Consultant, perusahaan yang didirikannya dan sukses sejak tahun 1992 membawa pendaki gunung nonprofessional sampai di atap dunia. Ketika empat tahun berikutnya ia hendak mengulang kesuksesan, ia menggamit seorang wartawan yang nanti akan mempublikasikan kesuksesannya. Nama wartawan itu Jon Krakauer, yang di kemudian hari menulis Into Thin Air.

Sementara itu ketika tiba di basecamp pendakian, ia berjumpa dengan Scott Fischer, pemimpin kelompok pendaki Mountain Madness yang punya obsesi serupa. Ia juga membawa serta seorang jurnalis perempuan bernama Lene Gammelgaard. Ternyata, kedua rombongan pendaki ini berencana mencapai puncak di hari yang sama. Alhasil, kepadatan jalur pendakian tak terhindarkan. Bagaimana mereka menghadapi kondisi itu? Kenapa pula kejadian nyata pada tahun 1996 itu menarik untuk diangkat kembali ke layar lebar? Padahal sebelumnya, film Into Thin Air juga pernah dibuat pada tahun 1997? Jawabannya, karena film itu mengajarkan penonton tentang bagaimana ego akan menentukan nasib pendaki di atas gunung.

Tragedi Everest di Indonesia
Kang Edy yang saya cuplik namanya di atas, adalah Edy Pras. Ia wartawan senior di Metro TV, dan pernah mengalami kejadian yang sama dengan peristiwa 1996 di Everest. Bedanya, ia menghadapi situasi krisis itu di puncak tertinggi di kawasan Oseania sekaligus gunung tertinggi di Indonesia: Puncak Carstensz.


Kala itu 2007. Tim liputan Kang Edy terdiri atas Ferissa Djohan, Bambang, dan Vidi Balatauw. Mereka mendaki bersama seorang pemandu bernama Franky Kowaas. Sebelum kegiatan itu dimulai, Kang Edy meminta agar anggota timnya membaca buku Into Thin Air, agar rekan tim liputannya paham tentang berbagai bahaya yang mungkin mereka hadapi. Ternyata, bahaya itulah yang benar-benar menghampiri mereka.

Seperti Jon Krakaeur yang sempat berujar bahwa pendakian ke Everest adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya, Kang Edy juga merasakan hal serupa. Franky Kowaas, dalam pendakian itu bak Rob Hall dan Scott Fischer, yang seakan semata mengincar publikasi atas jasa pendakiannya—meski bertahun-tahun setelahnya, barulah Kang Edy mengetahui dari Vidi bahwa keputusan Franky beralasan. Jargon bahwa pendakian gunung sejatinya adalah arena menaklukan ego pendakinya, tecermin di kedua kisah terpisah itu. Kisah rombongan tim liputan Metro TV ketika mendaki Carstensz tersebut, bisa kamu baca di tautan ini. Sementara kisah persaingan sekaligus perjuangan mencapai puncak yang juga bernama Sagarmantha itu, bisa kamu tonton di bioskop terdekat. [rheza ardiansyah]

No comments:

Post a Comment