Friday, November 6, 2015

Frankfurt Book Fair 2015: Indonesia Tamu Kehormatan, Lalu Apa?

Festival literasi terbesar di dunia Pekan Raya Buku Frankfurt atau Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman menghadirkan Indonesia sebagai tamu kehormatan. Apa istimewanya?

Sebuah aula seluas 2500 meter persegi, dihias beragam rupa pernak pernik. Lentera terang serupa tiang bergantungan di ruang temaram itu. Sementara titik-titik cahaya juga tersebar di dalamnya. Itulah suasana di dalam paviliun Indonesia, ruang pamer sang tamu kehormatan. Arena pameran buku dan berbagai hal tentang Indonesia itu, adalah hal pertama yang didapat Indonesia kala menyandang gelar tamu kehormatan. Di dalam paviliun itu, arsitek Muhammad Thamrin menampilkan wajah Indonesia melalui desain beragam tema. Ada yang bertajuk  Island of Words, Island of Images, Island of Inquiry, Island of Illumination, Island of Tales, Island of Spices dan Island of Scenes. Melalui area tematik tersebut, para pengunjung akan berkenalan dengan Indonesia. Di Island of Spices misalnya. Sebanyak 71 bumbu makanan khas nusantara, dipajang di atas sebuah meja berbentuk perahu. Pengunjung pun bebas merasakan Indonesia melalui indera penciuman mereka. Seorang wartawan asal Amerika Serikat, Diego Aretz, mengaku dirinya serasa berada di pulau antah berantah setelah mengenal berbagai jenis bumbu itu. Ia paling jatuh cinta dengan aroma cengkeh, dan mengaku makin berkeinginan mengunjungi Indonesia. Pameran bumbu-bumbu tersebut sebenarnya bukan nyawa utama gelaran yang berlangsung lima hari itu. Sejak tanggal 14 hingga 18 Oktober lalu, jual beli lisensi penerbitan buku, adalah komoditas utama.
Tak kurang dari 300 judul buku Indonesia masuk bursa berdagangan lisensi penerbitan buku. Angka tersebut dibocorkan International Rights Director Borobudur Agency Nung Atasana. Borobudur Agency adalah salah satu agen penjual lisensi buku Indonesia ke dunia internasional. Nung menambahkan bahwa judul-judul yang diminati penerbit asing beragam dari jenis sastra, buku anak, kuliner hingga komik. Perolehan tersebut, didapat selain karena Indonesia menjadi tamu kehormatan, juga akibat adanya perjodohan antar penerbit, atau Nung menyebutnya dengan istilah matchmaking.
Dalam acara matchmaking, berbagai penerbit dari sejumlah negara diundang ke gerai Indonesia di salah satu aula festival. Dalam acara yang dipandu Nung itu, para perwakilan penerbit buku dari berbagai negara memperkenalkan diri. Seusai memaparkan jenis literasi yang diterbitkan, masing-masing dari mereka membubarkan diri untuk kemudian membentuk obrolan yang lebih kecil. Kegiatan semacam ini hanya ada di gerai nasional Indonesia yang berlokasi di aula nomor 4. “Tapi memang kami kerja keras. Kami harus mengundang penerbit-penerbit itu dan dari 1000 penerbit yang kita undang itu mungkin yang jawab hanya 15 sampai 20 penerbit. Tapi itu sudah bagus. Karena mereka mungkin sudah ada appointment, mungkin sudah hadir ke sini (tanpa diundang sebelumnya)” papar pria yang menggeluti dunia perbukuan selama lebih dari 30 tahun itu.

Alhasil, perjodohan ini berbuah manis. Para penerbit mengaku terbantu karena selain buku mereka diminati penerbit asing, para penjual lisensi penerbitan buku itu tak perlu berkeliling untuk menawarkan produk mereka. Penawaran hak cetak buku-buku itulah yang dibanggakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Indonesia kali ini hadir untuk menjual, bukan membeli karya penulis asing. “Dan itu membuat pikiran, tulisan, menyebar bukan saja di ruang baca di tanah air, tetapi di ruang baca di seluruh penjuru dunia. Jadi Frankfurt Book Fair ini adalah kesempatan.” Papar sang menteri yang juga hadir ke Jerman.

Penjualan hak cetak buku Indonesia di berbagai negara, tak lepas dari upaya penerjemahan karya-karya literasi dalam negeri ke berbagai bahasa. Menurut penulis Laksmi Pamuntjak, itulah kunci keberhasilan karya kepenulisan Indonesia. Laksmi beruntung karena novelnya yang berjudul Amba, semula ditulis dalam bahasa Inggris dengan tajuk The Question of Red. Penulisan dalam bahasa internasional itu mempermudah pemasaran roman berlatar peristiwa 1965 itu ke berbagai negara. Amba pun kini telah bersalin pula ke Bahasa Jerman dan Bahasa Belanda. Bahkan, Alle Farben Rot, judul Amba dalam Bahasa Jerman, dicetak 15 ribu eksemplar oleh penerbit Ullstein. Angka itu bukan jumlah yang sedikit buat buku asing di Jerman. “Indonesia kan rata-rata ya 5 ribu (eksemplar) sudah bagus. Itu kalau cetakan pertama ya. Kalau Jerman ini biasanya 5 ribu – 10 ribu, kecuali penerbit kecil ya. Jadi kebanyakan penerbit besar itu sudah tinggi nyetaknya. Nyetak sampai 15 ribu itu sudah luar biasa,” papar Nung. Selain Amba, novel Pulang yang ditulis Leila S. Chudori, juga dijual dalam bahasa Perancis, Italia, Belanda, Jerman dan Inggris. Laksmi dan Leila bahkan diundang berkisah di Blue Sofa. Acara perbincangan yang disiarkan tiga media Jerman itu, merupakan arena diskusi prestisius. Para penulis yang diundang hadir adalah mereka yang dipilih stasiun televisi ZDF, radio Deutschlandradio Kultur, dan situs bertelsmann.com. Seperti yang dijelaskan direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, bahasa jerman merupakan bahasa pengantar penting untuk publik eropa. “Bahasa Jerman adalah bahasa penghubung. Setelah sebelumnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, kemudian ke dalam Bahasa Spanyol dan seterusnya. Jadi Bahasa Jerman penting sebagai perantara ke bahasa lain,” ujarnya.

Misi penerjemahan itu tuntas ditunaikan tim komite penerjemahan Indonesia setelah bersusah payah. Meski sejak tiga tahun sebelumnya, Indonesia telah diumumkan sebagai tamu kehormatan , persiapan menuju hajatan besar itu baru dimulai tahun 2014. Komite penerjemahan termasuk salah satu yang harus berjibaku dengan tenggat waktu. Ketua komite penerjemahan buku Indonesia Husni Syawie, juga menyesalkan citra buruk Indonesia yang sempat terlintas di hadapan penerjemah luar negeri. “Tarif yang dipasarkan atau yang umum berlaku di pasar internasional itu jauh lebih tinggi daripada tarif penerjemahan (per halaman) yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah, oleh kementerian keuangan,” papar Husni.

Meski demikian ia merasa diobati dengan sebuah janji, bahwa program penerjemahan tersebut akan berlanjut meski pekan raya buku Frankfurt telah usai. Selain program penerjemahan, menurut Husni pemerintah pun perlu mendukung industri perbukuan tanah air setidaknya dengan tiga cara: terus menghadirkan Indonesia di forum perbukuan internasional, mengadakan program promosi secara daring, dan mengadakan pameran buku berskala internasional di Indonesia. Menurut sekretaris umum IKAPI itu, justru itulah yang jadi acuan pengukur keberhasilan Indonesia setelah menghabiskan dana 150 milyar rupiah untuk kehadiran di pekan raya buku Frankfurt. Karena dengan demikian, peningkatan minat baca bangsa pun akan tercapai. “Kalau kemudian kita melanjutkan program ini dengan serangkaian

kegiatan yang lain, maka pertama pengarang-pengarang Indonesia akan muncul paradigma baru, mereka akan sadar bahwa karya-karya mereka akan dibaca oleh masyarakat dunia. Di sisi lain, anak-anak kita, para remaja kita, itu akan menyadari, menjadi penulis itu bisa mentas di mana-mana. kalau mereka tertarik dan mengidolakan profesi sebagai penulis, mereka akan mau tidak mau secara otomatis, menurut saya, akan suka membaca.” Tutup Husni.
Lantunan senandung Nina Bobo, mencampuri udara di dalam paviliun Indonesia dalam perhelatan pekan raya buku Frankfurt. Lagu itu terasa spesial karena dinyanyikan seorang biduan asal Belanda. Negeri kincir angin itu hadir di paviliun tamu kehormatan yang ditempati Indonesia, untuk menerima estafet gelar tamu kehormatan di pekan raya buku Frankfurt tahun 2016. Ketua komite nasional Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015 Goenawan Mohamad pun menyerahkan tanda kehormatan itu. “this is very emotional moment,” ujarnya setelah menyinggung sejarah kolonialisme Indonesia oleh Belanda dengan diiringi tawa para pengunjung. [rheza ardiansyah]
 

No comments:

Post a Comment