Sunday, November 8, 2015

Pameran Bebas Tapi Sopan

Meski Jakarta Biennale 2015 baru akan dibuka pada pertengahan november mendatang, acara pemanasannya sudah sedemikian panas. Gelaran yang dihelat di galeri nasional ini padat pengunjung. Tak hanya di akhir pekan, di tengah minggu pun pameran ini tidak sepi. 

Nampak sebagian besar pengunjung memanfaatkan karya para seniman sebagai latar untuk berswafoto. Mural ini dibuat oleh Bujangan Urban


Saya kesulitan mendapat detil tentang beberapa karya. Misalnya mural ini. Saya tidak menemukan informasi tentang siapa pembuat karya ini. Tapi di bagian lain ada detil itu.

Ratusan foto yang pernah dibagi ke akun instagram visualjalanan dipajang di sebuah dinding. Menelusuri foto ini satu per satu sangat menyenangkan. Tawa spontan muncul terpancing

Di bagian kanan foto tampak seorang seniman sedang diwawancara

Sejumlah karya seni jalanan dibuat miniaturnya. Mural buatan The Popo ini misalnya. Di miniatur ini ada juga keterangan yang menjelaskan bahwa mural ini tercipta karena mural The Popo ditimpa cat oleh satpol PP dan ditulisi imbauan "dilarang corat-coret". Seniman visual berbasis di Bekasi itu pun merespon balik dengan menuliskan "Insya Allah, Pak!"

Seni jalanan ibarat bunga di tengah gurung. Di dalam suasana rumah berpuing ini, graffiti justru memberi kesan estetika tersendiri. Dalam miniatur ini tampak graffiti buatan Tutu.

Di salah satu foto yang dipajang di dinding bagian depan pameran, tampak sebuah gerobak bertuliskan ayam goreng tapi di dalam gerobak itu ada seseorang yang berbaring. Saya otomatis tertawa melihat itu. Betapa sebuah momen kecil ketika dibingkai dalam sebuah foto menjadi bermakna. Nah ketika berjalan lebih dalam di arena pameran, ironi serupa muncul. Tidak dalam wujud foto, tapi sindiran nyata. Bahwa pecel lele, nasi uduk atau roti panggang yang ditawarkan di sana ternyata adalah: dede remaja yang sedang asik dengan gawai mereka.

Sejak ayahnya meninggal setahun lalu, Riyan Riyadi mempublikasikan mural yang berupa ode untuk ayahandanya pada gelaran ARTE 2014. Apresiasi serupa ia hadirkan kembali dalam pameran ini. Dua imaji ini masih bercerita tentang ayahnya tercinta. Tak hanya tergambar lewat figur khas The Popo, tapi juga lewati kutipan di bagian kanan foto itu, "Untuk sang penjaga arsip, ayah". Kalau kamu menonton film dokumenter berjudul Suara Tembok Kota, kamu akan paham maksud tulisan itu. Film yang jadi salah satu finalis kompetisi Eagle Documentary Awards itu memaparkan kisah The Popo dan romantikan apresiasi sang ayah. Di akhir film itu, Riyan menceritakan bahwa suatu ketika kala sang ayah telah tiada, ia menemukan sebuah tas berisi artikel tentang dirinya yang dikemas rapi. Film itu pun membuka topeng yang semula melapisi muka pria kelahiran 1982 itu. Ternyata, di balik wajah kritis dan militannya terhadap hak ruang publik, The Popo adalah seorang perasa.

Ratusan (atau ribuan?) stiker memenuhi sebuah tembok pameran

Stiker yang dikawinkan dengan seni graffiti
Ada satu sudut yang menyediakan berbagai buku untuk dibaca di tempat. Salah satu buku yang saya sempatkan baca beberapa subjudulnya, adalah Jakarta 1950-an ini. Buku ini berisi esay penulis yang bernostalgia tentang kehidupannya di masa dekade kedua pasca Indonesia merdeka. Dari kisah upaya pemboman Bung Karno, penembakan oleh pesawat tempur ke istana presiden, hingga penipuan yang melibatkan ribuan orang sebagai korban lengkap dikisahkan. 


No comments:

Post a Comment