***
Cita-cita saya mendaki Gunung Guntur akhirnya kesampaian. Setidaknya, saya sampai di puncak kedua dari lima puncak Guntur. Yang paling berjasa buat kesempatan ini sebenarnya Fajri. Sebelumnya, kami merencanakan naik pas weekend. Tapi, dia punya jadwal lain. Fajri ini—dia menyebut dirinya “Juara Adzan”—sebenarnya sukarelawan juga. Dia pernah tinggal di Gunung Papandayan selama dua bulan. Beberapa hari lalu, dia bahkan baru evakuasi pendaki di Gunung Manglayang. Dan besoknya setelah dari Guntur ini, dia harus ke Pangandaran buat kasih pelatihan penyelamatan diri di alam liar. Begitulah, kisah para sukarelawan menikmati hari mereka. []Monday, January 8, 2018
Kisah Sukarelawan Gunung Guntur
Sore itu, saya tiba di pos ketiga Gunung Guntur bersama Fajri. Kami sampai di sana setelah mendaki selama sekitar dua jam. Di pos terakhir sebelum puncak gunung itu, tiga orang duduk di depan bangunan berbahan kayu (saung). Terlihat akrab, satu di antara mereka menyapa kami. “Nggak bawa cewek nih?” itulah Dipeng, bercanda ke Fajri. Dipeng ini salah seorang sukarelawan yang tinggal di saung pos tiga. Dia tinggal di sana bersama tiga sampai lima orang lain untuk membantu merawat Gunung Guntur. Saya menyalami mereka satu persatu, pria-pria lajang di usianya yang masih berbilang 20 atau 30 tahunan. Mereka menyebut diri sukarelawan karena sehari-hari, mereka mendata nama pendaki agar tetap aman. Kawanan ini juga menyewakan peralatan mendaki dan menjual oleh-oleh aksesoeris khas Gunung Guntur. Saya pun mengenal mereka lebih dalam melalui sebuah perbincangan di kala malam. Ternyata, kawasan Gunung Guntur dilingkupi sinyal ponsel dan radio. Kami duduk melingkar sambil ngemil kuaci. Beda dengan Fajri, saya baru pertama kali ke Gunung Guntur dan pertama kali pula ketemu mereka. Tapi, kami ngobrol nggak canggung. Mereka memperlakukan saya seperti kawan lama. Suara dialog samar terdengar dari kotak radio di dekat tempat simpan matras. Kata Dipeng, radio itu sumber berita buat mereka, selain internet, terutama twitter. Sinyal sih ada, tapi kata Dipeng, yang paling asik tetep ngobrol sama pendaki. “Cuma aneh, anak gunung sekarang nggak kenal Soe Hok Gie,” Dipeng komplain. Gie yang dia maksud, tentu saja si pendaki gunung sekaligus kritikus rezim Soekarno di masa akhir presidensialnya. Lalu Dipeng nanya, saya udah baca bukunya atau belum. Well, saya terus terang belum tamat baca Catatan Seorang Demonstran, padahal punya bukunya. Saya bilang, sekarang lagi namatin buku Laut Bercerita. Novel karangan Leila S. Chudori itu ceritanya tentang aktivis mahasiswa yang berjuang buat sistem demokrasi di Indonesia. Sayangnya, mereka disiksa sama tentara. Pembicaraan tentang politik menggiring kami ke pembicaraan lain yang mungkin terlalu serius, apalagi radio lagi ada dialog tentang pemilihan gubernur Jawa Barat. Sepengamatan saya, ada dua topik yang biasanya asik dibahas laki-laki. Kalau nggak sepak bola, politik. Setuju nggak? Yang jelas malam itu kami lebih banyak ngomongin politiknya. Dipeng cerita tentang program dialog di radio yang dia langgan. Di setiap episode, warga Garut bisa saling mengomentasi sejumlah isu public. Menariknya, pengambil kebijakan dihadirkan langsung. Salah seorang anggota “geng pos III”, Oded, salah satu yang paling aktif. “apalagi kalo bahas soal penambangan pasir,” kata Dipeng. Oded ini orangnya pendiam. Dia biasa dipanggil Haji. Besok paginya, pas saya masih tidur, ada suara orang baca al quran. Pasti itu Kang Oded. Saya jadi kepikir, kok orang-orang ini milih ada di sini ya? Dipeng pernah cerita, waktu dia lagi pulang ke Sumedang, katanya malah nggak bisa lama-lama di bawah. “begitu ditelpon anak-anak kalo di atas butuh bantuan, langsung naik lagi. Kayak ada ikatan batin, padahal ga ada yang maksa juga,”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment