Sunday, April 1, 2018

Karni Ilyas

Sebagai wartawan nonkarier—maksudnya belum belajar ilmu jurnalistik secara formal—saya berusaha membekali diri melalui beberapa cara agar mahir berprofesi. Salah satunya baca buku biografi wartawan. Kali ini yang baru saya khatamkan buku tentang Karni Ilyas. Buku setebal 400an halaman ini sebenarnya ditulis Fenty Effendy tahun 2012. Isinya tetap relevan sampai sekarang karena Pak Karni masih di TV One dan masih lekat dengan citra Indonesia Lawyers Club (ILC). Perjalanan karier Pak Karni sebelum tersohor sebagai presiden ILC, sebenarnya bisa dihubungkan dengan satu kata: hukum. Ia mulai bekerja sebagai wartawan setelah menodong pemimpin redaksi Suara Karya Rahman Tolleng dengan sebuah kalimat:
‘’Pak, saya sudah baca Suara Karya. Menurut saya, ada berita yang tidak masuk di situ.”… Ketika Tolleng bertanya sekali lagi, barulah ia menjawab bahwa tidak ada berita hukum di Suara Karya.
Setelah diterima di Suara Karya itulah Pak Karni menekuni peliputan bidang hukum, hingga berlanjut di Majalah Tempo, sampai memimpin SCTV, antv lalu TV One. Sejumlah kasus yang ia liput juga dikisahkan di buku ini, misalnya tentang upaya pengembalian uang negara yang dikorup istri kedua Haji Thahir, Kartika. Pak Karni berhasil mendapat kesempatan wawancara di Jenewa, eksklusif. Sayangnya saya nggak menemukan kisah akhir upaya pemulangan uang setara Rp153 miliar itu—atau mungkin saya kurang teliti. Selain kasus Kartika, kisah lain juga ada di kasus kasus Siti Nurbaya tahun 1973: Syarifa Syifa. Banyak wartawan meliput persidangan tersebut karena kisah yang dialami Syarifa Syifa, 15 tahun, cukup tragis. Umur 12 tahun ia dipaksa kawin oleh neneknya. Setelah punya anak satu, sang nenek tidak suka lagi dengan si mantu memaksa cucunya itu bercerai dan mengawinkannya dengan lelaki lain. Syarifa berontak lalu kabur dengan pacarnya, tapi polisi menangkap mereka. Sidang pada awal bulan Juli itu adalah untuk mengadili Jemsar Salim Alhadar, 25 tahun. Pemuda keturunan Arab itu diadukan Ahmad Alhasni dan Daeng Raiyah, ayah dan nenek Syarifa. (Hal. 49) Berselisih hitungan detik dengan ketok palu hakim yang menghukum Jemsar 2,5 tahun penjara, Syarifa memekik, megeluarkan pisau silet, dan mengancam ibunya, Sumiati. … Saat itulah Karni menyaksikan sebuah tindakan nekat. Syarifa memasukkan pisau silet yang dipegangnya ke dalam mulutnya dan menelannya. (Hal. 50) “Andaikan saya pulang setelah makan siang, sama seperti wartawan-wartawan pemalas lainnya, pastilah saya melewatkan berita itu. Tapi karena prinsip saya tak hendak pulang sebelum ruang sidang ditutup, jadilah headline eksklusif itu.” (Hal. 54) Gambaran Pak Karni menjalankan prinsipnya di atas, dikisahkan juga di pengalaman peliputan kasus lain. Dari penangkapan teroris Azahari dan Noordin M. Top di Wonosobo, sampai wawancara jenderal LB Moerdani yang saat itu dikenal sulit bicara ke media. Bagi wartawan kemarin sore semacam saya, pengalaman wartawan senior bisa jadi contoh agar pada ujungnya, public juga yang diuntungkan dengan kualitas produk jurnalistik yang bagus. Semoga begitu. []

No comments:

Post a Comment