Beberapa waktu lalu, Lola Amaria diwawancara di Eagle Awards
selama sekitar satu jam. Ia berkisah berbagai hal. Dari tentang visinya
berkesenian melalui film, hingga mengutarakan mimpinya berkolaborasi dengan Salahuddin
Siregar, seorang sineas dokumenter. Saat ini, hasil kolaborasi itu sudah bisa
disaksikan melalui film LIMA.
Film LIMA berkisah tentang drama kehidupan sebuah keluarga
di Kota Bandung yang mencerminkan implementasi Pancasila, dasar negara Republik
Indonesia. Pengulas film di akun Twitter @djaycoholyc,
menganalisa kaitan antarkisah dalam film LIMA, berdasarkan desain poster film:
Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa Lambangnya adalah Bintang. Di #FilmLima dipasang adalah foto Maryam, Ibu dari Fara, Aryo dan Adi. Beliau dipasang di tengah-tengah sebagai core dari film ini. Sama seperti lambang Pancasila. Sila pertama berkaitan erat dengan agama.
Sila-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Gambar Rantai diwakili Bi Ijah, pembantu paling loyal di keluarga Maryam. Dan bi Ijah benar-benar dimanusiakan oleh keluarga ini meski statusnya sebagai pembantu
Sila-3: Persatuan Indonesia Pohon Beringin digambarkan oleh Adi, bontot yang mampu memeprsatukan keluarga dengan cara dia yang kadang tak biasa.
Sila-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan Ada Fara di situ, Fara itu jago dalam berdebat untuk mendapatkan hasil ideal sesuai kemampuan bukan karena titipan.
Sila-5: Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia Aryo ada di sila ini. Bersikap adil sebagai anak tengah, tidak memihak namun tetap memegang teguh prinsip dia.
Waktu itu saya menonton film LIMA di bioskop Ciwalk. Dalam penayangan
jam 21:20 itu, seisi studio cuma ada tiga orang, termasuk saya. Satu orang
ternyata nggak datang, karena pas beli tiket saya bisa lihat ada 3 titik
berwarna merah di bangku penonton. Menurut akun instagram @film_indonesia,
sampai tanggal 10 Juni, LIMA ditonton 78 ribu lebih orang.
Sekadar memberi gambaran, saya coba bandingkan jumlah
penonton LIMA dan Dilan 1990. Jika dibandingkan dengan film Dilan 1990—yang menyandang
predikat film terbanyak ditonton di tahun 2018—raihan penonton film LIMA sangat
sedikit. Dilan yang sudah disaksikan 6 juta lebih orang, di hari ke-10 penayangannya
sudah ditonton 3 juta orang. Padahal, film LIMA cukup seru dan penting—bukan berarti
Dilan tidak. Selain karena misinya dalam menggambarkan penerapan pancasila
tanpa terkesan berceramah, LIMA juga menurut saya cukup artistik.
Alur kisahnya pun tetap berdasar ke kejadian nyata. Ketika nonton
film Bulan di Atas Kuburan (2015), saya sangsi dengan realita tentang sopir
taksi bernama Sabar yang diperankan Tio Pakusadewo, dibakar massa karena
kecelakaan lalu lintas. Siapa sangka, dua tahun setelahnya seorang pria di
Bekasi dibakar karena dituduh mencuri. Realita ini pula yang melatari salah
satu fragmen kisah Adi di film LIMA.
Meski begitu, perihal kesesuaian dengan realita ini juga
dikritisi Leila S. Chudori dalam majalah Tempo edisi 17 Juni 2018. Menurutnya:
“Persoalan tingkah laku anak-anak pembantu juga terselesaikan dengan happy ending yang hampir muskil mengingat berkali-kali rakyat kecil divonis hukuman berat untuk kesalahan yang kecil.” []
No comments:
Post a Comment