Saya terkesan sekali dengan film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Filmnya bagus. Jalannya cerita meliuk indah, gambarnya bagus, akting para pemeran tokoh-tokoh di dalamnya pun jempolan. Tak sia-sia, saya menghabiskan lebih dari dua jam setengah hingga lewat tengah malam demi film besutan Garin Nugroho itu.
Guru Bangsa Tjokroaminoto dimulai dengan adegan berwarna hitam putih di penjara yang mengurung guru para pendiri bangsa itu selama enam bulan. Tjokro sedang diinterogasi seorang Belanda, dan seorang sekutunya. Dengan keangkuhan yang elegan, ia menolak diatur. Tjokro pun memperkenalkan diri dengan tatapan tajam ke arah penonton. Ialah Tjokroaminoto, seorang bangsawan yang menolak tunduk di hadapan dominasi bangsa kolonial.
Tidak ada bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa dia rendah atau merendah. Demikian pernyataan yang saya ingat diucapkan Reza Rahadian ketika tampil di acara Mata Najwa. Dan bahasa tubuh itu, berhasil ia tampilkan selama 160 menit film diputar. Itu dikuatkan dengan pernyataan cicit sang guru bangsa, yang juga hadir di acara yang sama. Tjokro selalu berpenampilan rapi, untuk menunjukkan bahwa ia dan bangsa tetamu dari Eropa itu juga setara. Kala difoto, kakinya mengangkat seolah menantang. Dan memang begitulah ia, menantang.
Suatu ketika Tjokro pernah bekerja untuk seorang Belanda. Sang tuan marah karena pribumi pembawa cangkir teh tak menggunakan sarung tangan. Tjokro memberontak dengan pola yang selalu ia lakukan jika menghadapi kondisi serupa: meminta lawannya duduk. Dan si rival menurut. Lalu dengan kata-katanya yang bulat ia kukuhkan kemenangan. Indah sekali. Jurus serupa juga tampak ketika Tjokro menghadapi seorang pendatang dari Yaman yang tak pro pribumi. Jurusnya sama: meminta lawannya duduk, jadikan dia memandang dengan tengadah, dan taklukkan mereka dengan kata-kata.
Di balik sikap keras yang melekat pada Tjokroaminoto, ada kesan egaliter, romantis, juga filosofis. Lihat bagaimana ia menyikapi Semaoen yang sudah jarang ikut kegiatan Syarikat Islam. Rasakan juga bagaimana Tjokoro bercanda tentang kapas dengan istrinya. Lalu ikut larutlah dalam pertanyaan "apakah ini hijrahku?" yang selalu mengiringi jalannya film itu.
Dari segi pemeranan, film ini juga apik. Soeharsikin, istri Tjokroaminoto berhasil diperankan Putri Ayudya yang sukses memerankan sosok perempuan jawa dengan berbagai laku lampahnya. Semaoen juga diperankan secara brilian oleh Tanta Ginting, yang dalam film Soekarno memerankan Sjahrir. Murid-murid Tjokro lain juga begitu terasa hidup dengan perannya masing-masing.
Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, adalah film biopik yang musikal dan wayangesque. Sebuah krikit menyayangkan sisipan musik yang dinyanyikan Reza Rahadian dan Putri Ayudya. Bagi saya, justru itu memperkaya gaya penyampaian dan penggambaran film itu. Nyanyian tadi, seakan mengatakan "dan demikian suasana riuh riang mengiringi perjalanan waktu di rumah peneleh" atau semacamnya. Visualisasi dan personalisasi ala wayang, juga menambatkan kesan yang sama.
Simaklah Stella yang diperankan Chelsea Islan. Ia bagaikan dalang yang menjembatani adegan dan memuatkan konteks. Sama halnya dengan Stella yang fiktif, Bagong pun demikian. Inilah nampaknya tanda tangan sineas yang pernah membidani film Opera Jawa yang kolosal itu. Bagong bertingkah ala Stella, bahkan berdampingan. Tengok juga tampakan ketika Tjokro dan Samanhudi diarak pendukungnya. Mereka bergerak menyamping dari kanan ke kiri layar. Lalu muncullah Sneevlit dari arah berlawanan. Persis cara wayang muncul dalam sebuah pementasan.
Kalau pun saya harus menyisipkan kritik, barangkali keberadaan Reza Rahadian yang terlalu jago beraktinglah yang saya ada-adakan. Secara gestur ia berhasil menampilkan nilai sifat Tjokro. Tapi saya berandai-andai, alangkah lengkapnya jika hidung Reza dibuat lebih kecil sehingga lebih menyerupai Tjokro. Meski demikian, secara keseluruhan tetap saja ini film penting yang akan sangat sayang sekali kalau kamu tak tonton. Mumpung masih ada layar bioskop yang menayangkan, saran saya: segeralah tonton! [rhezaardiansyah]
No comments:
Post a Comment