Akhir maret sampai awal april lalu, film Ready Player One ramai diulas sebagai film bagus—ada juga sih yang bilang film ini jelek. Selain karena kisahnya menarik, banyak easter egg atau pesan tersembunyi berupa kemunculan tokoh dari film lain. Saya jadi terpancing nonton lagi film The Shining.
Sebelumnya, film besutan Stanley Kubrick ini saya tonton tahun 2011. Hampir semua scene memorable yang muncul di Ready Player One, saya ingat—kisah Gold Room, lift muntah darah, dan akhir pengejaran di taman teka-teki (Hedge Maze) baru saya ingat lagi pas nonton di kali kedua. Tidak ada satu kalimat seragam yang menjelaskan The Shining ini film tentang apa. Ada yang memaknai film ini tentang keluarga yang bapaknya kesurupan, ada juga yang analisa bahwa ini tentang si bapak melecehkan anaknya (padahal ga ada visualisasi eksplisit soal itu), ada juga yang membaca bahwa itu tentang pembantaian bangsa indian oleh orang kulit putih.
Ada banyak interpretasi lain sebenarnya tentang film ini. Bahkan, dibuatkan khusus dalam satu film dokumenter sepanjang satu setengah jam berjudul Room 237. Selain The Shining dan dokumenter Room 237, sebenarnya masih banyak video dan tulisan lain yang bahas adegan dan penanda tertentu dari film The Shining. Kalo nonton semua rasanya juga nggak bakal habis-habis karena ada aja analisa yang relevan, karena misalnya dikaitkan dengan karya lain yang lebih kontemporer.
Menyaksikan lagi The Shining dan pembacaan karyanya yang nggak habis-habis, membuktikan bahwa Stanley Kubrick—sineas kelahiran New York AS—bisa panjang umur karena karyanya. Sepanjang umur sebuah filmnya yang lain, yang versi aslinya akan tayang lagi di festival film prestisius Cannes bulan Mei nanti, sebagai perayaan ulang tahun filmnya yang ke-50. Mungkin itu juga momen tepat, tahun ini waktu yang tepat bagi saya buat namatin nonton “2001: A Space Odyssey”. []
Monday, April 23, 2018
Sunday, April 1, 2018
Karni Ilyas
Sebagai wartawan nonkarier—maksudnya belum belajar ilmu jurnalistik secara formal—saya berusaha membekali diri melalui beberapa cara agar mahir berprofesi. Salah satunya baca buku biografi wartawan. Kali ini yang baru saya khatamkan buku tentang Karni Ilyas. Buku setebal 400an halaman ini sebenarnya ditulis Fenty Effendy tahun 2012. Isinya tetap relevan sampai sekarang karena Pak Karni masih di TV One dan masih lekat dengan citra Indonesia Lawyers Club (ILC). Perjalanan karier Pak Karni sebelum tersohor sebagai presiden ILC, sebenarnya bisa dihubungkan dengan satu kata: hukum. Ia mulai bekerja sebagai wartawan setelah menodong pemimpin redaksi Suara Karya Rahman Tolleng dengan sebuah kalimat:
‘’Pak, saya sudah baca Suara Karya. Menurut saya, ada berita yang tidak masuk di situ.”… Ketika Tolleng bertanya sekali lagi, barulah ia menjawab bahwa tidak ada berita hukum di Suara Karya.Setelah diterima di Suara Karya itulah Pak Karni menekuni peliputan bidang hukum, hingga berlanjut di Majalah Tempo, sampai memimpin SCTV, antv lalu TV One. Sejumlah kasus yang ia liput juga dikisahkan di buku ini, misalnya tentang upaya pengembalian uang negara yang dikorup istri kedua Haji Thahir, Kartika. Pak Karni berhasil mendapat kesempatan wawancara di Jenewa, eksklusif. Sayangnya saya nggak menemukan kisah akhir upaya pemulangan uang setara Rp153 miliar itu—atau mungkin saya kurang teliti. Selain kasus Kartika, kisah lain juga ada di kasus kasus Siti Nurbaya tahun 1973: Syarifa Syifa. Banyak wartawan meliput persidangan tersebut karena kisah yang dialami Syarifa Syifa, 15 tahun, cukup tragis. Umur 12 tahun ia dipaksa kawin oleh neneknya. Setelah punya anak satu, sang nenek tidak suka lagi dengan si mantu memaksa cucunya itu bercerai dan mengawinkannya dengan lelaki lain. Syarifa berontak lalu kabur dengan pacarnya, tapi polisi menangkap mereka. Sidang pada awal bulan Juli itu adalah untuk mengadili Jemsar Salim Alhadar, 25 tahun. Pemuda keturunan Arab itu diadukan Ahmad Alhasni dan Daeng Raiyah, ayah dan nenek Syarifa. (Hal. 49) Berselisih hitungan detik dengan ketok palu hakim yang menghukum Jemsar 2,5 tahun penjara, Syarifa memekik, megeluarkan pisau silet, dan mengancam ibunya, Sumiati. … Saat itulah Karni menyaksikan sebuah tindakan nekat. Syarifa memasukkan pisau silet yang dipegangnya ke dalam mulutnya dan menelannya. (Hal. 50) “Andaikan saya pulang setelah makan siang, sama seperti wartawan-wartawan pemalas lainnya, pastilah saya melewatkan berita itu. Tapi karena prinsip saya tak hendak pulang sebelum ruang sidang ditutup, jadilah headline eksklusif itu.” (Hal. 54) Gambaran Pak Karni menjalankan prinsipnya di atas, dikisahkan juga di pengalaman peliputan kasus lain. Dari penangkapan teroris Azahari dan Noordin M. Top di Wonosobo, sampai wawancara jenderal LB Moerdani yang saat itu dikenal sulit bicara ke media. Bagi wartawan kemarin sore semacam saya, pengalaman wartawan senior bisa jadi contoh agar pada ujungnya, public juga yang diuntungkan dengan kualitas produk jurnalistik yang bagus. Semoga begitu. []
Subscribe to:
Posts (Atom)