Hari Jumat kemarin, ada diskusi tentang buku Gen buatan
Siddharta Mukherjee. Pemandunya seorang edukator biologi, Prasdianto. Yang jadi
pembicara utama, dokter neurosains Ryu Hasan. Pembicaraan dokter Ryu tidak
melulu soal isi buku Gen, tapi justru soal gen itu sendiri. Bahwa studi dan berbagai
temuan tentang gen dan genetika, jadi penanda penting perkembangan ilmu
biologi.
Di akhir diskusi, dokter Ryu menjawab sebuah pertanyaan
menarik: ketika perkembangan ilmu pengetahuan—dalam hal ini biologi—semakin melampaui
batas etika manusia, siapa yang nantinya berwenang menetapkan batas baru? Dokter
Ryu menjawab dengan sebuah contoh. Ketika seorang dokter disodori perampok yang
berdarah-darah, maka urusannya cuma satu: menyelamatkan hidup. Soal perampok
itu menjalani pertanggungjawaban atas perbuatannya, bukan urusan si dokter. Maka
jawaban pertanyaan di atas: tergantung sudut pandang pemanfaatan temuan sains
tadi.
Perumpamaan dokter Ryu, mengingatkan saya ke sepotong adegan
di awal film 1987. Ceritanya tentang peran berbagai profesi di Korea Selatan
dalam menumbangkan pemerintahan represif. Di tahun yang dipakai jadi judul
filmnya, terjadi rangkaian peristiwa serupa Indonesia di tahun 1998.
Bulan Januari kala itu, seorang dokter diminta menolong
mahasiswa yang menjalani pemeriksaan sebagai terduga komunis. Pemerintah Korea
Selatan ketika itu menjadikan penumpasan komunisme—yang dijalankan di Korea
Utara—sebagai dalih untuk mempertahankan kekuasaan. Pengkritik pemerintah,
dicap komunis. Mereka diinterogasi dengan siksaan, sukur-sukur sampai kapok
melawan pemerintah. Sayangnya, di awal tahun itu polisi tidak sengaja membunuh sang
mahasiswa: Park Yong-chul.
Di Indonesia tahun 1998, ada peristiwa serupa. Mahasiswa yang
melakukan aksi damai dibubarkan aparat, bahkan ditembak mati. Sampai sekarang,
tidak ada yang bertanggung jawab. Pihak jaksa agung yang harusnya jadi pengusut
kasus Semanggi, malah memaklumi insiden tadi.
Dalam 1987, ada rangkaian subkisah pilu tentang orang tua
Yong-chul yang sangat kehilangan. Ibunya histeris ketika sang anak—yang masih
ia panggil “bayiku”—harus pergi lebih dulu. Sebuah adegan puitik juga
digambarkan ketika abu jenazah Yong-chul dilarung ke sungai.
Di Indonesia pada bulan April tahun 2020, keluarga pahlawan
reformasi—begitu para korban penembakan Mei 1998 digelari—masih terus menuntut
penegakan hukum melalui aksi kamisan. Tiap Kamis, mereka berdiri di depan
Istana Kepresidenan. Aksi ini sudah digelar 632 kali. Pemerintahan berganti, tuntutan
mereka tetap sama.
Satu fragmen film 1987 juga merefleksikan kondisi di
Indonesia. Seorang ahli forensik diminta merekayasa hasil otopsi. Jaksa diarahkan
menyetujui kremasi tanpa otopsi. Meski harus berkompromi, ia pada akhirnya membocorkan
dokumen asli penyebab kematian Yong-chul kepada wartawan—paru-paru sang mahasiswa
diisi air. Maka, mahasiswa, dokter, jaksa, pers, lalu disusul pemuka agama,
sipir, pemimpin oposisi, bergerak menggulingkan tirani.
Aksi kejar-kejaran aktivis prodemokrasi juga digambarkan
film ini. Pasokan informasi buat dia, disalurkan seorang sipir. Petugas penjara
ini rajin mencatat pembicaraan di ruang besuk tahanan politik. Informasi itulah
yang ia sembunyikan dari pemeriksaan polisi berpakaian sipil.
Indonesia di bawah rezim orde baru, ditakut-takuti dengan represi
serupa. Plus, fiksi tentang deskripsi pembunuhan para jenderal korban peristiwa
G-30-S: mata dicungkil, bagian tubuh diiris silet. Nyatanya, setelah April 1987
barulah kita tahu melalui Cornell Paper yang ditulis Benedict Anderson, bahwa
hasil visum et repertum tidak menunjukkan informasi sadistik tadi. Rilis Jurnal
Indonesia itu lalu jadi salah satu bahan bakar reformasi.
Segmen akhir 1987 diakhiri romantika kisah mahasiswa Lee
Han-yeol yang juga tewas karena serangan aparat. Ia dilihat dari sudut pandang
seorang mahasiswi yang diselamatkan Han-yeol di sebuah kerusuhan. Sang mahasiswi—yang
juga keponakan sipir penjara di atas—sempat membelikannya sepatu. Sepatu itu
pula yang ia pakai ketika kepala bagian belakangnya dihantam peluru. Momen akhir
kehidupan Han-yeol lalu jadi foto utama koran esok harinya. Sang mahasiswi
berduka, lalu gabung ke kerumunan massa yang menuntut perubahan pemerintahan.
Kita sebenarnya punya juga film yang merekam momen semacam
itu. Tahun 2015—dua tahun lebih awal dari rilis film 1987—Lukman Sardi
menyutradarai film Di Balik 98. Ceritanya tentang seorang mahasiswa yang abangnya
seorang tentara. Mereka bertemu di arena demonstrasi. Sementara, sang mahasiswa
juga punya pacar sesama aktivis, yang kena imbas hembusan isu rasial di masa
gawat Mei 1998. Dua film ini, Di Balik 98 dan 1987, menggambarkan bahwa
mahasiswa punya peran besar dalam perubahan sebuah negara. []
No comments:
Post a Comment