Friday, April 17, 2020

AntiSuperman

Kisah superman menampilkan utopia atau gambaran ideal kehadiran alien yang jadi penyelamat manusia. Namanya juga fiksi, kita bebas berfantasi. Tapi, kalau mau realistis, makhluk ekstraterestrial itu bakal sulit kita temukan—kalau ga mau pesimistik bilang nggak ada.

Misalnya, astrofisikawan Stephen Hawking yang bilang bahwa memang ada planet sejenis bumi di tata surya lain, tapi kecil kemungkinan adanya kehidupan lain di sana. Lagipula, kalau pun ternyata ada, tempat itu terlalu jauh untuk kita tuju—setidaknya menurut teknologi tercanggih hari ini. Dan lagi, kalau pun kita berhasil ngontak “mereka”, yakin mereka bakal jadi sahabat kita?

Gambaran itulah yang bisa kita tonton di film Brightburn (2019). Ceritanya mirip kisah Superman di desa Smallvile, ketika bayi Clark Kent ditemukan dari dalam pesawat sampai tumbuh ke masa remaja awal. Kekuatannya juga sama: mata membakar, gerak cepat, terbang, kebal peluru. Bedanya, dia bukan melindungi. Hanya menjalankan instingnya untuk mengikuti seleksi alam: melestarikan jenis spesiesnya sendiri.

Di sebuah adegan, tokoh bernama Brandon Breyer sedang belajar di kelas tentang perbedaan lebah dan tawon. Ketika gurunya bertanya, Brandon menjelaskan bahwa yang satu membuat sarang, sementara yang lain menyerang, demi sarang.

Ms. Espenschied : And that is what we call a hive. Wasps and bees, both members of the insect family, both with two pairs of wings, both with stingers. Can anyone tell me difference between them? Mr. Breyer?
Brandon Breyer : Uh, well, um, bees are pollinators, and wasps are predators.
Ms. Espenschied : Good, good. Anybody else?
Brandon Breyer : And wasps are more aggressive, more dangerous. One species, the Polistes sulcifer, is what's called a brood parasite, they've lost the ability to make nests, so they use brute force to make other wasp species to raise their young. And they make them feed their babies things like beetle larvae and maggots.

Sepanjang film bergulir, Brandon kemudian menjadi tawon predator. Dia memodifikasi topeng yang membentuk moncong serangga itu. Dia membunuh, untuk kemudian mungkin (spesiesnya) menjajah.

Familiar dengan skenario itu? Dalam buku Guns, Germs and Steel (1997), Jared Diamond merangkum peradaban manusia yang melibatkan tiga unsur tadi: bedil, kuman dan baja. Kuman yang dimaksud, merujuk ke wabah bawaan penjajah Eropa ke benua Amerika. Warga setempat tidak punya kekebalan terhadap kuman itu, sehingga tumbang.

“Sebagai contoh, suatu wabah cacar meluluhkan bangsa Aztek setelah gagalnya serangan pertam aorang Spanyol pada 1520 dan menewaskan Cuitlahuac, kaisar Aztek yang sempat menggantikan Montezuma untuk waktu yang singkat.” (Hal. 84)

Lantas, dalam wabah covid-19 ini, beberapa orang percaya bahwa virus menjadi mekanisme alam untuk memulihkan kondisi bumi. Padahal, nggak begitu.

Memang jalanan lebih lengang dan emisi berkurang, tapi—berdasarkan catatan sejarah—itu hanya sementara. Menurut liputan ini, sampah medis naik berkali lipat, energi listrik lebih banyak dipakai, dan pertemuan untuk bahas kerjasama global mengatasi masalah lingkungan, justru jadi tertunda. Kuncinya, kita sadar seberapa ramah lingkungan perilaku kita, dan berusaha terus meningkatkan kualitasnya.

Cara pandang terhadap manusia dan lingkungan yang seakan bijak tadi, bisa menghilangkan empati kita. Tulisan ini dengan telak menunjuk ketimpangan ekonomi sebagai buntut dari banyak meruginya manusia akibat wabah corona baru. Dengan sarkas, Raka Ibrahim mengutip:

“Kata sebuah anekdot, pemeriksaan COVID-19 paling masuk akal bagi orang miskin adalah bersin ke muka konglomerat, lalu tunggu hasil tesnya.”

Lalu solusi agar manusia bahagia bersama bagaimana? Filsuf Martin Suryajaya punya analisanya. Menurutnya, dunia pasca-covid19 akan dihadapkan ke dua pilihan: sosialisme atau barbarisme. Gagasan Martin lalu punya tandingan—atau sebutlah penjabaran lebih teknis.

Ardy Syihab mengkritisi sosialisme yang diceritakan Martin sebagai “lamunan indah menuju tidur yang nyenyak”. Paragraf terakhirnya berbunyi begini:

Krisis ekonomi selalu melahirkan peluang. Ketimbang sebatas membayangkan apa yang terjadi hingga lagi-lagi tersalip di tikungan terakhir, lebih bijak jika secara aktif mengkonsolidasikan kekuatan kolektif dan menggalang solidaritas untuk mengubah haluan ekonomi yang masih terjerembap dari konsep kuno kapitalisme menjadi dunia baru yang cerah bernama sosialisme. Sedari yang terdekat, kemudian terus menigkat. []

No comments:

Post a Comment