Sekitar satu dekade lalu, saya cukup banyak menghabiskan
waktu di perpustakaan LSI IPB. Selain tuntutan menulis skripsi, perpustakaan
jadi tempat enak buat akses bacaan menarik. Salah satunya, majalah TEMPO. Dalam
suatu edisi, ada ulasan tentang film PJ20. Film dokumenter ini menceritakan
perjalanan karir band Pearl Jam selama 20 tahun. Film ini, baru tahun 2020 ini
saya tonton.
PJ20
Pearl Jam 20 diceritakan dari sudut pandang Cameron Crowe—wartawan
Rolling Stone yang keseruan profesinya ia gambarkan di film Almost Famous. Ia terkesima
dengan sensasi musikal di daerah Seattle AS. Salah satu yang menarik
perhatiannya, band bernama Mother Love Bone. Sang vokalis Andrew Wood, dikenal sebagai
seorang frontman yang kharismatik. Sayangnya, ia meninggal karena overdosis
heroin. Tiga anggota band ini kemudian membentuk band baru: Pearl Jam.
Wawancara dalam PJ20 tampil kasual. Ada momen ketika vokalis
Eddie Vedder kaget disodori kaset berisi rekaman demo pertamanya. Dia juga
sempat memamerkan dinding berisi koleksi foto keluarganya—ayah Eddie ternyata
juga pemusik
.
Dalam sesi lain, gitaris Stone Gossard mengajak kita masuk
ke sebuah ruangan. Barang di sana terkesan ditata berantakan. Dan di sanalah ia
menyimpan piala Grammy. Kisah pun bergulir ke berbagai pencapaian band yang ia
bentuk selepas Mother Love Bone.
Bagi saya yang menggemari lagu Daughter, momen paling
menarik tampak ketika diperlihatkan kisah di balik layar pembuatan track ketiga
dari album kedua Pearl Jam berjudul Vs. (1993) itu. Lagu lain juga ditampilkan
tematik. Rekaman live Pearl Jam membawakan “Not For You”—lagu yang menurut
Vedder berkisah tentang eksploitasi pemuda—ditayangkan setelah ulasan konflik
band itu dengan Ticketmaster.
Pearl Jam pernah terlibat seteru dengan perusahaan pengelola
panggung Ticketmaster soal (salah satunya) ketidaksepakatan penerapan harga tiket.
Pihak Ticketmaster ingin menarik biaya jasa dari sebuah konser gratis di hari
buruh 1 Mei 1992. Mereka lalu pecah kongsi. Setelahnya, Pearl Jam jadi band “indie”
ketika menggelar konser.
Selain soal cerita-cerita di atas, PJ20 juga berisi momen
kedekatan band ini dengan Nirvana (dan Kurt Cobain). Di hari ketika Kurt tewas
akibat bunuh diri pun, Eddie menyampaikan salutasi dari atas panggung.
Lingkungan
Katanya, musik yang kita suka di masa remaja akan kita suka
selamanya. Meski sekitar 10 tahun sudah lewat dari masa jayanya, saya ternyata
kepincut musik Grunge, termasuk Pearl Jam. Ketika album Riot Act dirilis tahun
2002, lagu I Am Mine dari dalamnya sering saya putar ulang. Waktu itu, saking
belum ngerti bahasa inggris, saya sempat bingung ketika melihat kamus dan
membaca bahwa “mine” berarti “tambang (minyak/ batu bara)”. Maka I Am Mine
berarti Aku Adalah Tambang. Haha.
Itu waktu saya SMP. Beberapa tahun berselang—jelang lulus
kuliah—saya masih iseng aktif di kegiatan kemahasiswaan. Kebetulan, aktivitas
saya di Koran Kampus mengenalkan saya ke Pak De.
“Saya duduk di depan LSI, yang gondrong.”
Kurang lebih begitu tulisan SMS balasan Pak De yang saya terima
ketika dia akan saya wawancara tentang Wahana Telisik Seni dan sastra alias WTS—sengaja
S-nya mereka tulis satu. Dari sanalah kemudian, saya ikut aktif di WTS. Ternyata,
banyak anak-anak—untuk menghidari istilah “anggota”—WTS yang juga aktif di
organisasi lain: UKF atau Uni Konservasi Fauna. Akhirnya, saya ikutan juga.
Waktu itu—entah sekarang—markas UKF ada di sebuah pertigaan
kawasan Babakan Lio. Di dalamnya, ada kamar yang penuh berisi buku. Itulah kamar
Pak De. Perpustakaan kecil itu pun dia beri nama: Juvenil. Di sana, saya pinjam
dan baca beberapa buku. Dari pergaulan itu pula, saya dikenalkan ke film Into
The Wild (2007).
Into The Wild
Into The Wild menceritakan kisah Christopher McCandless yang
memilih hidup di hutan. Dia meninggalkan kehidupan “normal” yang biasa dijalani
seorang warga kelas menengah negara maju setelah lulus kuliah. Melalui film
itu, vokalis Pearl Jam Eddie Vedder merilis proyek solo.
Seketika, album itu jadi favorit. Lagu terakhir dalam album
berisi 11 lagu ini bahkan memenangkan penghargaan Best Original Song dalam
ajang penganugerahan Golden Globe. Judulnya Guaranteed. Ketika mengerjakan
album ini, Vedder mengibaratkan tiap komposisi lagu punya karakter warna masing-masing—dan
memang terasa begitu.
“I just gave him (sutradara: Sean Penn) 25 minutes of music (durasi total album ini 33 menitan), stuff I felt that were colors on the palette.”
Gigaton
Selang sekian lama, Pearl Jam merilis album berjudul
Gigaton. Kata itu kini banyak dipakai untuk berita buruk tentang krisis iklim. Dalam
pidatonya di tahun 2015, Obama menyitir data bahwa 75 gigaton (juta ton) es
mencair di Alaska dalam setahun. Dari sisi visual, Gigaton juga memajang foto
gletser yang direkam biolog Paul Nicklen. Dalam lagu Quick Escape, Eddie menyisipkan
sindiran bagi Trump yang meremehkan krisis iklim.
Dalam lagu yang sama, juga ada potongan lirik tentang masa
depan distopia. Bahwa kombinasi rumput hijau, langit dan anggur merah hanya
mungkin ada di masa lalu.
“Oh, and we think abput the old days
Of green grass, sky and red wine
Should’ve known its so fragile” []
No comments:
Post a Comment