Tahun 2005, saya masih duduk di bangku SMA. Ketika itu saya tinggal di rumah kos, karena rumah orang tua jaraknya satu jam perjalanan dari sekolah. Di kosan, nggak ada TV. Padahal, malam itu ada film laga yang sangat ingin saya tonton. Akhirnya, seorang teman berbaik hati mengajak saya menginap di rumahnya. Terima kasih buat Gravito, berkat kemurahan hatinya, malam itu saya berhasil nonton film xXx, yang sebenarnya pertama kali rilis tahun 2002. Triple X, meskipun skor di imdb jelek, bagi saya film penting.
Rangkaian adegan ekstrim Xander Cage, ketika itu membangkitkan nostalgia saya semasa SD-SMP yang gandrung permainan skateboard Tony Hawk di Play Station 1. Triple X memang menjual aksi ekstrim. Motocross yang melompat tinggi melewati pagar duri, stiker “skateboarding is not a crime” dan terjun bebas dari jembatan buat merusak mobil mewah, masih saya ingat dari seri pertama xXx. Lalu datanglah seri keduanya, yang dibintangi Ice Cube. Ah yang saya ingat cuma mukanya yang selalu merengut. Awal tahun 2017, dibuatlah seri ketiga xXx, dengan kedatangan kembali pahlawan saya: Vin Diesel sebagai Xander Cage.
Sebenarnya peringatan bahwa film ini mengecewakan bukan sekali dua kali saya baca. Dan itu terbukti. Di menit-menit awal film. Gimana ceritanya Neymar yang keturunan Brazil, sehari-hari main bola buat sebuah klub sepak bola di Spanyol, ada di Cina sama perekrut agen xXx: Gibbons? Apa itu sebenarnya di warung makan Cina Barcelona? Bisa aja sih begitu, tapi masa sih tiba-tiba ada perampok yang masuk ke restoran timingnya pas si Gibbons bayar. Lalu dengan heroiknya Neymar sang calon penerus xXx menyelamatkan. Rentetan logika itu awalnya meragukan, tapi kemudian masuk akal ketika penonton dipaparkan cerita tentang Xander Cage yang diuji instingnya melalui rekayasa suasana. Pahamlah saya, itu kondisi bentukan Gibbons buat mancing potensi Neymar. Saya juga mulai paham, kenapa Gibbons dan Neymar harus bertemu di restoran Cina—dengan merk yang jelas terpajang (dalam bahasa mandarin). Jawabannya, karena film ini ditujukan bagi penonton Asia.
Perlu bukti lain? Saya kenalkan Anda ke Kris Wu, mantan personil boyband konsorsium Korea-China EXO. Berperan sebagai Nick, skill ekstrim rapper itu cuma pencet tombol play di set DJ—tunggu, apa dia cuma memandu joget ya? Saya lupa. Intinya kalau pun Kris Wu dihapus dari jalinan kisah perebutan Kotak Pandora—alat pengendali satelit—film ini akan tetap berjalan mulus. Lalu kenapa ia dimainkan? Untuk menarik fans Wu agar menonton. Pertanda ke-Asia-an film ini juga terlihat dari hadirnya Donnie Yen—pemeran utama trilogi Ip Man. Ada juga Tony Jaa, si jago muay thai itu. Selain itu, hadir pula Deepika Padukone yang menyegarkan.
Yang ingin saya sampaikan, ini sesuai dengan sebuah video yang pernah saya tonton. Bahwa Hollywood kali ini melirik Cina sebagai pasar potensial. Dalam video itu, dipaparkan pula bahwa saking pentingnya positioning Tiongkok di dalam film agar penonton utama merasa dekat, adegan dalam film Looper (2010) yang mulanya diskripkan di Perancis, lokasinya jadi Shanghai. Di luar urusan pertargetpenontonan di atas, xXx: Return of Xander Cage tetap menarik. Terjun bebas masih ada, ledakan tetap bombastis, Xander girls—emang Bond doang yang punya girls?—juga asik-asik. Agar ketika nonton seri ketiga xXx ini kepuasannya bisa maksimum, sebaiknya nikmati saja unsur utama trilogi ini: aksi ekstrimnya. []
No comments:
Post a Comment