Sejak tahun 2013, saya bertugas sebagai reporter di program Mata Najwa Metro TV. Episode pertama yang ada kerja saya di dalamnya, adalah tayangan berjudul “Rindu Daripada Soeharto”. Setelah itu, selama sekitar 14 bulan saya belajar di program yang dimotori Najwa Shihab itu. Tahun 2013, Mata Najwa sedang gencar memulai lagi format talk show yang digelar di kampus-kampus: Mata Najwa On Stage.
Saya pertama kali bertugas di tahap ini, ketika MOS digelar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 14 Desember 2013. Kala itu saya jumpa dengan seseorang berkacamata bundar dan rambut pendek. Belakangan kami berkenalan. Ternyata ia Fenty Effendy, yang dua tahun kemudian menerbitkan buku tentang Mata Najwa bejudul Mantra Layar Kaca. Mbak Fenty—demikian saya kemudian menyapanya—sebenarnya bukan orang asing.
Ia pernah menjadi produser sebuah program dialog di Metro TV. Pantes Mbak Fenty terlihat akrab juga sama Mbak Nana (panggilan Mbak Nana) dan para produser Mata Najwa saat itu (Mbak Citra, Mas Nurdhian, Mas Cahyadi). Kedekatan itu pula yang nampaknya membuat buku gubahannya terasa mampu menggali hal-hal detil, karena bisa masuk ke momen-momen kecil yang justru punya kisah tersendiri. Saya ingat ketika episode yang menghadirkan wali kota Surabaya Tri Rismaharini, akhirnya diputuskan berdiri sendiri. Sebelumnya, wawancara Risma yang menangis ketika mengisahkan suasana prostitusi, akan digabung dengan wali kota dan bupati dari daerah lain. Kisah ini ternyata turut di kisahkan. Tulisan Mbak Fenty juga menyelipkan rahasia di balik ungkapan para narasumber yang ketika itu diperbincangkan.
Di akhir wawancara dengan Megawati, presiden RI ke-5 ini menangis ketika mengungkapkan cita-citanya: Indonesia Raya. Dalam episode yang sama, Megawati juga terkesan dengan pertanyaan tentang almarhum suaminya, Taufik Kiemas. Bagaimana cara Najwa bertanya? “tidak perlu rumit merumuskan pertanyaan. Dengarkan dengan seksama jawaban narasumber Anda dan galilah hal yang belum terungkap dari jawaban itu.” (hal. 188) Selain kisah dari ruang rapat studio taping Mata Najwa, Mantra Layar Kaca juga menyajikan data dan fakta tentang episode yang pernah diulas.
Secara garis besar, pembaca bisa paham tentang apa yang terjadi dengan kasus bailout Bank Century. Dalam bab lain, kronologi kasus cicak lawan buaya juga dihadirkan. Meski informasi dan tips di atas memberi manfaat tersendiri bagi pembaca (khususnya wartawan), berbagai paparan di dalam buku ini lebih terasa sebagai glorifikasi kesuksesan Mata Najwa. Untungnya, otokritik bagi program yang tayang sejak 2009 ini juga tetap ada (opini Yunarto Wijaya di halaman 315).
Sekarang, buku lain tentang Mata Najwa sudah terbit, judulnya Catatan Najwa. Buku yang terakhir itu isinya rangkaian kalimat pengantar dan penutup dalam setiap episode program yang tayang tiap Rabu malam itu. Tranformasi identitasnya ke berbagai bentuk tadi, nampaknya menunjukkan bahwa Mata Najwa, memang Mantra Layar Kaca. []
No comments:
Post a Comment