Wednesday, January 4, 2017

Punan Semeriot

Meski semalam tidur larut setelah berpesta ulang tahun sekolah, Aken tetap bangun pagi. Ia sudah ada di pinggir sungai dengan tas barunya yang berisi alat mandi dan alat tulis.Buku tulis itu ia keluarkan. Sebuah pensil berujung tumpul mengiringinya. Tak ada pisau, tidak ada serutan. Satu-satunya pulpen di tangan saya berikan untuknya. Selanjutnya, Rina mengambil alih. Dengan telaten ia mengajari Aken satu per satu menulis huruf dan angka.

Catharina Megawati alias Rina, adalah salah satu pengajar Sekolah Adat Punan Semeriot (SAPS), sebuah sekolah nonformal yang diinisiasi Sri Tiawati, keponakan Rina. Rata-rata seminggu sekali, Sri dan Rina mengajar anak-anak suku Punan Semeriot di kampung halaman mereka. Meski sebenarnya itu tidak mudah. Rina dan Sri tinggal di Desa Kelembunan, Kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Utara. Untuk menuju Sungai Semeriot di Desa Ujang, mereka perlu menempuh perjalanan sekitar lima jam. Perjalanan panjang ini tidak mudah.

Mereka harus menerjang jeram dengan perahu ketinting, sebuah sampan seukuran kano yang maksimal ditumpangi empat orang. Perjuangan menuju Desa Ujang tambah berat jika air sungai sedang surut. Beberapa kali mereka harus turun dari perahu dan menariknya ketika tersangkut bebatuan dasar sungai. Meski tidak mudah, keduanya tak menyerah. Kini, satu tahun sudah Sekolah Adat Punan Semeriot telah beroperasi. Tiga puluhan anak di perkampungan kecil suku Punan Semeriot itu tidak lagi asing dengan pendidikan. Dan Aken, sudah mengenal abjad, angka, dan membaca—meski terbata-bata.

Aken

Aken adalah anak pertama dari lima bersaudara. Enam sebenarnya. Adik pertamanya meninggal karena sakit, entah apa.Tapi saya menduga, penyakit yang membunuh sang adik bukan yang tak bisa disembuhkan. Kesan itu saya dapat setelah mendengar kisah Liana, saudara sepupu Aken. Mereka seusia, sekitar 10 tahunan. Ibunda Liana meninggal karena sakit krungut—demikian Liana menyebutnya. Krungut yang ia maksud adalah cacar.

Mestinya, ibu Liana bisa diselamatkan jika akses pelayanan kesehatan terjangkau. Kenyataannya, di perkampungan berisi 20 rumah itu, fasilitas umumnya cuma gereja. Perkampungan Suku Punan Semeriot sebenarnya berdiri belum lama. Rumah yang saling berhadapan itu tidak mereka tempati setiap hari, karena para Punan Semeriot lebih suka berkelana. Mereka menjelajahi suatu wilayah hutan, lalu berpindah ke hutan bagian lain untuk berburu makanan dan menyambung hidup. Kebiasaan itusekarang mereka hentikan, demi dua alasan.

Pendidikan

Ditipu. Itu salah satu pengalaman pahit Jhonidy Apan ketika sebagai anggota suku Punan Semeriot, ia berinteraksi dengan dunia luar—peradaban yang mengenal uang. Jhoni berkenalan dengan alat tukar itu pada tahun 1991. Senyumnya tersungging ketika mengenang kebingungannya karena mendapat uang kembalian dalam sebuah transaksi. “Saya kasih satu lembar, tapi malah dikasih lagi dua lembar,” ungkapnya. Raut muka serupa juga tampak ketika pria 48 tahun ini mengisahkan kali pertama suku Punan Semeriot mengenakan baju berupa kain. Sebelumnya, mereka memakai kulit kayu talun yang mereka dapat dari meladang di dalam rimba. Hasil meladang itu pula, yang kemudian menjadi bekal suku Punan Semeriot untuk berinteraksi dengan kehidupan kapitalistik.

Kala itu Jhoni menjual kayu gaharu yang ia dapat dari dalam hutan. Dari seseorang yang membelinya di kota, Jhoni mengantongi uang 200 ribu rupiah. Belakangan dia baru tahu, bahwa harga sebenarnya yang pantas ia dapat bisa mencapai 10 juta rupiah. Tak ingin kejadian serupa terulang, pria yang kini menjabat Kepala Lembaga Adat Dayak Punan Kecamatan Sekatak itu, menghentikan kebiasaannya berladang. Tahun 2013, ia dan anggota kelompoknya mendapat bantuan pembangunan rumah dari pemerintah. Sebuah perkampungan kecil pun terbentuk. Jhoni kemudian mengupayakan satu solusi agar anggota suku punan semeriot tak lagi mempan ditipu: pendidikan.

Menghadirkan guru ke perkampungan Punan Semeriot, ternyata bukan perkara gampang. Sebuah ketinting ia siapkan khusus untuk sang pengajar. Gaji pun sudah disiapkan bupati, meski kemudian tak bertahan lama. “Ternyata 6 bulan, jadi guru itu sudah pindah. Nah pindah mungkin bagaimana dia cari yang paling mahal,” Jhoni menjelaskan. Seorang pendeta juga pernah bertugas di kampung Punan Semeriot, dengan sarana yang kurang lebih serupa. “Kami waktu itu siapkan juga susu anaknya, makanannya, jatah-jatahnya, kami siapkan. Dan uang transportasinya, kami kasih. Mutasi lagi,“ papar Jhoni.

Kini, harapan Jhoni agar anak-anak Punan Semeriot berpendidikan, bergantung di pundak Sri dan Rina. Keduanya bergerak sukarela mengajari tiga puluhan anak-anak. Dari menulis, membaca, menjala ikan, hingga belajar gosok gigi. Ilmu adat istiadat juga tak luput diwariskan seorang tetua di sekolah bentukan dua perempuan Punan Kelembunan itu.

Hutan Adat VS Hutan Negara

Alasan kedua yang membuat suku Punan Semeriot berhenti hidup nomaden, adalah perubahan hutan. Sejak 2009, perusahaan pengolahan kayu masuk ke hutan yang biasa dijelajahi para Punan Semeriot. Masalah muncul ketika tidak ada batas antara hutan adat dan hutan yang boleh dikelola perusahaan. Sebenarnya, sudah ada aturan tegas yang membagi peruntukan hutan bagi kedua belah pihak. Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di dalamnya disebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara, melainkan hutan hak milik masyarakat adat. Artinya, hutan adat akan dibebaskan dari kewenangan negara untuk menjadikannya hutan yang dikelola perusahaan. Dua hari jelang tahun berganti menjadi 2017, presiden mengeluarkan sejumlah wilayah adat dari konsesi perusahaan. Keuntungan serupa itu bisa didapat Punan Semeriot ketika mereka sudah punya batasan wilayah yang jelas. Dan hingga kini, proses pemetaan masih berlangsung.

Jhoni 

Jhoni mengajak saya menembus rerimbunan semak. Di balik tutupan dedaunan, kemudian terkuak jalur untuk pejalan kaki. Tanahnya basah. Beberapa jejak kaki tanpa alas masih tercetak jelas. Itulah jalur yang biasa ditempuhnya untuk meladang ke hutan. Meski sudah punya permukiman permanen, ia dan keluarganya tak bisa setiap saat tinggal menetap. Bersama istri dan anak-anaknya, Jhoni masuk ke hutan hingga satu minggu. “Di mana sungai yang ada ikan, atau di mana gunung yang ada binatang, ya kita tuju itu. Itulah kehidupan punan yang sebenarnya.” Jhoni menutup percakapan. []

No comments:

Post a Comment