Tuesday, January 24, 2017

Wiji Thukul dan Anak Perempuannya

Selama beberapa lama di akhir masa kuliah sekitar 6 tahun lalu, saya memasang potongan lagu Jeruji berjudul Lawan sebagai musik pembuka ketika menyalakan laptop. Liriknya lugas. Kental nuansa pembangkangan, dan dirangkum dengan seruan “lawan”.
Kami cinta negeri ini, tapi kami benci sistem yang ada. Hanya ada satu kata: lawan!
Belakangan, barulah saya tahu bahwa barisan terakhir di lagu itu mulanya dipopulerkan di dalam sebuah puisi berjudul Peringatan. Penggubahnya, Wiji Thukul. Sosok penyair cadel inilah yang kemarin saya tonton di film Istirahatlah Kata-Kata. Atau Solo, Solitude—versi judul bahasa Inggrisnya. Menonton Istirahatlah Kata-Kata, seperti menikmati puisi. Pelan, simbolik, sederhana—jika kesederhanaan puisi “hanya” berupa kata-kata, maka sederhananya film ini “hanya” rentetan adegan bernuansa sunyi. Bagi beberapa orang mungkin gaya ini mengundang rasa bosan. Saya aja ketiduran di beberapa skena—sehingga perlu tanya ke istri di sebelah tentang adegan yang kelewat. Dengan membuat penonton melewatkan layar, bagi saya bukan berarti film ini gagal, atau jelek. Justru ia berhasil menyampaikan suasana yang ingin dibagikan ke penonton. Ketika nonton What They Don’t Talk About When They Talk About Love, saya merasakan sensasi serupa. Misalnya ketika tokoh utama menghitung jumlah sisiran rambut. Setelah baca wawancara sutradaranya, barulah saya sadar bahwa adegan itu perlu untuk menunjukkan kepercayaan si tokoh terhadap suatu mitos, yang memang ketika dilakukan terasa membosankan. Pula demikian dengan Istirahatlah Kata-Kata. Potongan kisah persembunyian Wiji Thukul ketika menyelamatkan diri dari kejaran militer, menggambarkan pelarian yang senyap. Meski menampilkan ketegangan, unsurnya bukan terbentuk dari intensitas yang biasa ada di film laga. Cukup dengan pembicaraan semi interogasi seorang tentara di sebuah tempat pangkas rambut, penonton bisa merasakan ketegangan. Barangkali pengetahuan bahwa Thukul bukan ditangkap ABRI, yang mengurangi rasa khawatir kita akan nasib si tokoh utama di tangan prajurit yang bercukur itu. Rasa empati penonton, selain dipancing melalui tensi pencarian dan persembunyian, juga diundang melalui cara Thukul teringat anak yang ia tinggalkan. Dalam beberapa kesempatan, ketika ia bersembunyi di Pontianak, seringkali terdengar suara tangis bayi. Saat itulah naluri kebapakannya menyeruak. Saya jadi ingat tulisan Zen RS di status Facebooknya. Bahwa ia paham bagaimana beratnya meninggalkan seorang anak. Anak perempuan khususnya. Perasaan itu diungkap juga oleh Pandji. Dalam salah satu kisah di balik layar tur dunianya, komika ini mengaku paling tidak nyaman ketika mengingat sang putri, yang malah sembuh ketika ayahnya ada. Bagi saya yang belum tahu rasanya jauh dari anak, sepertinya itu tidak sedemikian menyiksa. Lalu pandangan saya tertuju ke perut Windi yang menggelembung matang. Dia cuma senyum. Katanya lihat aja nanti. Saya pun menerka-nerka, ketika pekan depan bertugas ke luar kota selama berminggu-minggu, saya akan sekangen apa dengan dia, dan calon anak perempuan kami. []

No comments:

Post a Comment