Tuesday, June 6, 2017
Hai, Selamat Tinggal
Hari-hari ini saya seperti hilang arah. Maksud saya, mungkin terlalu banyak yang ingin saya lakukan sementara saya terlalu malas untuk melakukan semuanya. Haha. Tadi pagi saya meninggalkan tempat tinggal sekitar jam 8, lalu berbelok arah di persimpangan, menuju jalan layang Pasupati. Biasanya belok kiri, jadi belok kanan. Sengaja, ada yang ingin saya beli di Pusdav kompleks Pusdai Jabar. Padahal ujung-ujungnya barangnya nggak ada. Sebelum akhirnya seperti biasa mendarat di tempat kerja, saya mampir dulu ke tempat pangkas rambut. Karena belum buka—meski sebenarnya kalau mau sabar nunggu 15 menit lagi rambut saya udah rapi—saya batal cukur rambut. Di seberangnya ada toko buku. Saya mampir dan beli sekopi majalah. Di lapangan Siliwangi, saya push up 30 kali, pull up 5 kali dan menyiksa otot perut dengan sebuah gerakan. Itu tadi saya lakukan masih dengan kostum celana jins formal, sepatu kantoran, dan seragam di dalam jaket. Sudah saya bilang, saya terlalu banyak mau. Salah satunya badan kekar. Hahaha. Oke, sekarang saya di meja kerja. Rupanya majalah Hai yang tadi saya beli nggak semenarik dulu. Terlalu banyak ulasan acara. Tapi tunggu, bukankah itu edisi terakhir versi cetaknya? Masa nggak tertarik baca lebih detil? Sebelum saya ceritakan kesan membaca edisi penting ini, saya mau bernostalgia dulu dengan majalah remaja Hai. Jika Anda membaca Bobo di masa kecil, saya yakin hasrat membaca Anda juga akan tersalurkan melalui majalah Hai. Oke, dengan catatan tambahan bahwa anda laki-laki. Hai memang majalah remaja pria. Edisi yang paling saya kenang dari majalah ini adalah yang covernya Erix Soekamti. Edisi pertama dengan logo baru yang saya beli sekitar tahun 2005 atau 2006. Edisi itu bahas tentang punk. Dari band, sejarah, manifesto, sampai perbedaan punk dan punx. Sekitar tahun 2007, majalah itu dituker sama seorang teman. Untuk melepas satu keping edisi itu, saya dikasih tiga kaset tiga album pertama SUM41. Ketika itu saya belum suka kuartet asal Kanada tadi. Sampai kegemaran bermain game ketika itu membuat saya mendengar lagu Fat Lip dari album kedua. Luar biasa. Melodius dan menghentak. Pada akhirnya, Half Hour of Power, All Killer No Filler, dan Does This Look Infected? jadi konsumsi harian. Ah, segar! Nah sekarang kita kembali lagi ke majalah Hai. Bulan ini, terbit edisi terakhir Hai dalam wujud cetak. Selanjutnya ia akan hadir di platform digital. Sebagai pembaca rilisan fisik, saya lebih nyaman membaca semua informasinya dalam satu bundle cetakan. Di edisi kali ini, tiap artikel tampil berupa versi pendek, sementara bagian panjangnya bisa diakses melalui QR Code yang menyertai tiap judul. Agak merepotkan, tapi memang begitulah gimmick-nya. Sebelum Hai benar-benar sepenuhnya dibaca lewat sambungan internet, edisi ini memberikan transisi. Hijrahnya Hai ke wujud digital, memperpanjang barisan media yang beradaptasi dengan kondisi pasar. Saya terlalu malas buat menambahkan data tentang media-media yang pada akhirnya gak bikin edisi cetak lagi. Yang jelas, Hai berhenti berwujud fisik setelah berusia 40. Maka dengan perjuangan sepanjang itu, saya ingin mengucap selamat atas kelulusan brand sekaligus para awak redaksinya. Di bagian akhir edisi itu orang-orang dari dapur Hai berfoto menggunakan toga, sekaligus menuliskan kalimat terakhir mereka. Yang paling saya suka, dari orang yang mengutip pernyataan Nyai Ontosoroh: “Kita telah melawan Nak. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” []
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment