Monday, June 5, 2017

Ramadan di Pavilion 19

Malam itu saya lagi makan capcay, sambil nonton B-roll film Wonder Woman. Dua buah apel yang baru dibeli juga udah siap disikat setelah mangkok ini kosong. Di tengah situasi itu datanglah seorang pria, Ian namanya. Ia dan istrinya, Diana, pemilik tempat ini. Empat malam terakhir saya memang nginap di Pavilion 19. Tempat ini sebenarnya rumah biasa, tapi ada dua kamar yang disewakan melalui Airbnb. Pavilion 19 punya daya tarik tersendiri karena desain kamarnya yang unik. Satu kamar bernuansa terbuka dengan halaman luar berrumput hijau, kamar lain berdesain interior kekinian. Orang yang ada di balik kreasi ini adalah Diana, yang sehari-hari menjadi desainer interior. Suaminya seorang arsitek. Maka demikianlah, Pavilion 19 pun disewakan sejak setahun lalu. Di Pavilion 19, saya tinggal di kamar yang memiliki halaman terbuka. Awalnya, tempat ini teras rumah biasa. Sebagian luas lahannya lalu ditutupi lantai kayu buat jadi teras lain yang baru. Teras lamanya, dibangun ulang sehingga jadi kamar. Sebenarnya ruangannya nggak terlalu luas, tapi pas. Ada kursi single di sebelahnya yang secara estetik senada sama bantal di kasur. Secara fungsi, kursi ini juga klop dengan aktivitas saya di pagi menuju siang. Bagian atap teras ditutupi bahan transparan, jadi kalau siang kita duduk di sana bisa kepanasan. Nah kursi itulah yang saya gunakan buat baca-baca santai sambil selonjorin kaki ke kasur sambil pintu kamar dibuka, angin bebas masuk. Nggak butuh AC selain memang gak ada alat itu pula. Coba Windi dan Aksara jadi ikut, makin lengkap lah itu baca sambil liatin Windi nemenin Aksara tidur siang. “Gara-gara proyek ya?” Ian nebak. “Gara-gara proyeknya ada masalah. Hahaha” saya jawab sambil ketawa. Sebagai sesama arsitek, Ian pasti paham dengan kondisi Windi itu. Tadinya saya dan keluarga kecil kami, memang mau pemanasan tinggal di Bandung di penginapan ini. Rencananya, dalam waktu dekat Windi dan Aksara akan menemani saya kerja di ibu kota Jawa Barat ini. Pavilion 19 dipilih sebagai perkenalan sama suasana Bandung sekaligus menikmati desainnya yang khas. Kami beruntung diberi izin buat menginap. Padahal, nggak semua calon klien Ian dan Diana diizinkan tinggal di sini loh. Ternyata mereka hanya terima pasangan yang sudah menikah, itu pun belum tentu semua dikasih. Dan kebanyakan, tamunya berasal dari luar negeri. Yang paling sering sih dari Malaysia. Apalagi kalau bukan bulan puasa, di depan rumah ini ada orang jualan nasi uduk. Bagi orang Malaysia, itu semacam nasi lemak yang biasa mereka santap di kampung halamannya. Ada juga kisah pasangan kakek-nenek yang traveling keliling dunia pakai sepeda. Mereka nginapnya di Pavilion 19. Selain mereka, di kamar lain ada seorang turis dari Arab Saudi yang tinggal selama sebulan. Jamal namanya. Saya sempat liat orangnya di saf pertama ketika solat taraweh. Lalu ketemu dia besok paginya dan ngobrol. Katanya di Arab panas. Enak di sini adem. Kata Ian, Jamal ini kalau hujan malah hujan-hujanan. Saking senengnya. Padahal badannya gede. Jauh dari imaji bahwa yang suka hujan-hujanan biasanya anak kecil. Diana lalu gabung. Dia keluar dari pintu di belakang tempat saya duduk, masih dengan kemeja putih dan kalung berwarna cerah yang tergantung. Diana baru pulang dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. Sebelum saya menginap di sini, dia sempat kirim SMS juga soal itu. Rupanya memang begitulah tradisi jika kita menggunakan jasa Airbnb. Pengalaman traveling bisa lebih lengkap dengan obrolan bersama host rumah yang kita singgahi. Diana sebenarnya nggak duduk dan ngobrol lama. Dengan ramah, dia bertanya tentang kesan saya tinggal di rumahnya. “Sesuai ekspektasi”, kata saya. “Tapi ada kayak bekas bulu kucing di bantal satunya, jadi saya balik”. Diana langsung menanggapi bahwa nanti akan diganti. Kata Ian, itu karena setelah dibersihkan pintu kamarnya kebuka jadinya kucing masih bisa masuk. Obrolan sama Ian malam itu lalu berlanjut lebih lama. Kemeja hijau tuanya mengesankan sensasi formal dari persona Ian. Dia baru pulang dari 347, perusahaan yang awalnya distro, sekarang udah berkembang merambah banyak bidang, meski tetap bernyawa desain. Rupanya Ian ini teman dekat para petinggi 347. Saya sendiri tadinya mau main ke sana, setelah lihat di instagram Sir Dandy bahwa ia akan tampil di perayaan dua dekade salah satu perintis industry distro itu. Rencana itu lalu batal dan di sinilah saya saat itu. Ngobrol sama ayah dua anak ini tentang banyak hal. Dari hiu paus di Gorontalo, tempat hiking asik di Bandung, program-program televisi sampai buku-buku yang kami baca. Nggak kerasa udah hampir jam 11 malam. Sebelum kembali ke ruangan masing-masing, saya diizinkan lihat koleksi buku di lantai satu rumah mereka. Kebanyakan majalah desain. Di lantai dua, kata Ian buku agama lebih banyak. Dari rak buku di lantai bawah itu, saya pinjam dua buku. “Saya selesaikan sampai sahur!” Janji yang tentu saja sulit ditepati. Waktu sahur tiba, jam 3 Ian bangunkan saya. Ia bawakan sekotak menu. Sebenarnya ada dua kotak, satu lagi buat Jamal di kamar seberang. Menu sahur malam itu rendang, lengkap dengan perkedel, sambal cabe ijo, sayur dan kerupuk. Di hari lain menunya ganti lagi, tapi dengan kualitas dan variasi serupa. Tadi malam misalnya, saya dikasih ayam goreng kremes plus kerupuk, sambal dan sayur kacang yang kuahnya manis. Di malam pertama, menunya lebih mengejutkan lagi. Pasalnya Ian sempat ngira saya nggak puasa. Jadinya belum disediakan makanan dari catering. Alhasil ketika jam 3 pagi saya ngetok rumahnya, dia cuma bisa janjikan roti, dan saya oke-oke saja. Beberapa saat kemudian justru menu rumahan yang disajikan. Ramadan di Pavilion 19, ada enaknya ada enggaknya. Tergantung sih, apakah Anda melihat fasilitas ini kelebihan atau kekurangan. Yang saya maksud, lokasinya yang tepat ada di sebelah mesjid. Bayangkan, suatu malam di masjid itu penceramahnya pidato bergaya Soekarno. Benar-benar mirip Bung Karno sampe saya rekamin suaranya buat dikirim ke Windi. Untung kontennya nggak radikal. Di kesempatan lain lebih selow sih khatib nya. Tapi ya tetep aja namanya pake pengeras suara, dan itu tepat di sebelah kita tinggal, buat yang nggak biasa rasanya mungkin mengganggu. Ian menceritakan pengalaman seorang traveler bule yang kaget dengan tradisi khas Indonesia ini. Katanya mereka kebangun saking kencengnya suara adzan subuh. Ian lalu jelaskan bahwa itu adzan, panggilan solat. “Emang ada yang dateng?” Mereka nanya. Hehe. Kita tahu bahwa tentu saja ada yang datang, dan itu luar biasa buat orang Eropa. Ian lalu sediakan penutup kuping di ruangan, dan peringatkan calon tamunya sebelum mereka memesan melalui airbnb. Bagi saya, lokasi yang berdekatan dengan masjid justru menguntungkan. Saya bisa solat berjamaah di kamar, toh instruksi gerakannya tetep kedengeran. Dengerin tausiah pun bisa sambil ngapa-ngapain. Pagi ini beberapa jam lagi saya check out. Ada pesan dari Diana masuk ke akun Airbnb saya. Ia berterima kasih atas kunjungan ini, meski juga menyayangkan Windi dan Aksara ga bisa gabung. Katanya, saya dapat diskon 10% untuk kunjungan berikutnya. Hehehe. Lumayan. Semoga ada kesempatan lain buat tinggal di sini sesuai rencana awal. Bersama keluarga. [] [envira-gallery id="1777"]

No comments:

Post a Comment