Thursday, June 22, 2017

Ganti Hati

Buku Ganti Hati saya baca ketika ada tugas meliput kisah Sel Penyembuh untuk program 360 Metro TV. Sel penyembuh yang dimaksud tentu saja sel punca atau stem cell, sel muda yang dimodifikasi sehingga bisa mengobati macam-macam penyakit. Dalam rangka penyusunan kisah itu, saya perlu seorang narasumber yang pernah merasakan manfaat stem cell. Pilihan terkuat jatuh ke mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. Pada akhirnya saya berhasil mewawancarai pemilik grup media Jawa Pos ini ketika ia sedang berobat di Cina. Dan sebelum perbincangan jarak jauh itu dimulai, saya membekali diri dengan baca buku Ganti Hati. Pada tahun 2007, Dahlan Iskan didiagnosa menderita kerusakan hati. Buku Ganti Hati memang langsung dimulai dengan paparan latar belakang itu. Di dalamnya ditulis pula bahwa kerusakan yang ia alami sebenarnya sudah cukup parah. Saluran pencernaan bagian dalam Dahlan mirip balon yang siap meletus. Belum lagi organ limpa membesar, sehingga kekurangan darah putih. Sebagai pembaca, saya dibuat paham bahwa ini bukan penyakit ringan.
Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya? “Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke dalam liver saya.” Kenapa badan saya tidak kebal? “Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih bayi/kecil.” Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi? “Karena tidak tahu.” Kenapa tidak tahu? “Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan posisi.”
Hal Lain Selain Ganti Hati Buku ini ternyata tidak hanya berkisah tentang pengalaman Dahlan bertarung melawan penyakit hepatitis B selama 2 tahun, tapi juga rangkuman biografi hidupnya. Bab yang paling saya suka berjudul “Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan”. Dalam tulisan ini, sebenarnya Dahlan memaparkan analisa tentang mengapa sakit liver bisa ia derita, tapi pembahasannya diambil dari sudut pandang unik yang kritis dan bisa mendekatkan kepada pembaca.
                Jelaslah bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi, saya menderita sakit liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame.Kami bisa menikmatinya bersama-sama.
Buku ini juga nggak garing. Selain terasa seperti mendengar curhatan seorang teman, si teman yang sedang kit abaca kisahnya ini juga humoris.
Untung, tidak ada penilaian bahwa siapa yang meninggal dengan payudara besar berarti dimurkai Tuhan. (Bab 25) [ketika berbicara tentang wajah menghitam akibat sirosis hati, dikaitkan dengan azab tuhan]
Simak lagi contoh paparan jenaka satu ini:
Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun menghitam, kini kembali… hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka. (Bab 26)
Kisah Ganti Hati, juga menyisipkan sejumlah pengetahuan baru. Saya diperkenalkan dengan konsep tasawuf sathariyah, prinsip sangkan paraning dumadi, ilmu mantiq, usul fiqih, bahkan tips menulis yang baik.
… bahwa bikin tulisan itu harus deskriptif dan detil, gunakan kalimat pendek dan kutipan singkat. Agar imajinasi pembaca dari sebuah tulisan lebih kuat disbanding paparan audio-visual. (Bab 27)
Pada akhirnya, Ganti Hati menutup diri dengan keberhasilan operasi yang dijalani Dahlan di Cina. Ia mendapat donor potongan hati dari seseorang asal Bandung yang lahir tahun 1985. Orang ini tidak disebut identitasnya dengan jelas, namun diperkenalkan sebagai orang yang pernah gagal menyelamatkan ayahnya yang hatinya rusak. Dahlan juga menutup buku ini dengan caranya menyikapi penyakit yang timbul akibat kerja (terlalu) keras. Kutipan yang akan saya lampirkan ini memang panjang, tapi paragraf inilah yang membelokkan premis yang semula terbentuk, bahwa bekerja terlalu keras itu mematikan.
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali kesehatannya—dan banyak yang gagal. Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus sepak bola itu.

No comments:

Post a Comment