Sekitar tahun 2010, saya jalan-jalan ke sebuah event di ITB. Ketika itu ada acara skateboarding juga di sana. Skateboarder terkenal dari Bandung kumpul di sana. Datanglah salah seorang dari mereka ke arena. Dia pakai kacamata hitam, rambut gondrong, tangannya menenteng papan seluncur dan tali yang terhubung ke leher anjing chihuahua. Orang ini Pevi Permana. Beberapa hari lalu, saya ketemu lagi sama Pevi. Kesan saya tentang dia berubah. Ternyata sekarang Pevi nggak “setinggi” itu. Pevi saya wawancara sebagai seorang muslim yang berhijrah. Pindah dari kehidupan lama ke hidup baru yang lebih agamis. Obrolan kami digelar di sela aktivitas padatnya di Jakarta-Bandung-Bali. Pevi meluangkan waktu sekitar dua jam di kantornya di Gudang Selatan, Bandung. Kami berbincang selama sekitar 10 menit di depan sebuah cafĂ© di dalam gudang artistik itu. beberapa kali Pevi menunduk, terutama ketika bercerita tentang masa lalunya.
Sebelum Hijrah Pevi Permana lahir tahun 1988. Pada tahun 1999, ia mengenal papan skateboard dari teman sepermainannya. Sementara teman-teman yang mengenalkannya kepada skateboard berhenti bermain skate, Pevi terus menekuni hobi ini hingga bertahun-tahun setelahnya. Empat tahun kemudian, dia mulai ikut kejuaraan. Dalam dua kompetisi pertama sepanjang karirnya, Pevi berhasil menembus babak final. Di kali ketiga, juara ketiga langsung dia sabet. Tahun 2005 ia menjadi juara tingkat nasional. Dua tahun setelah itu gelar tingkat Asia ia raih, hingga di tahun 2009, Pevi Permana mencatatkan namanya sebagai skateboarder peringkat ke-40 tingkat dunia. Dari berbagai prestasinya tadi, Pevi mulai hidup mandiri. Kemandirian ini, yang dilengkapi dengan prinsip “tanpa aturan main” dari permainan skateboard, membuat pevi lekat dengan sebuah gaya hidup.
Yang saya alami ketika saya punya uang dari skateboard mulai hedonisme. Mulai merasa dirinya sebagai bintang. Mencukup keuangan karena pertandingan sering, juara sering, dapet hadiah. Selalu setiap bulan ada 3-4 kali. Dapet juga gaji dari sponsor. Di situ mulai, yang namanya kalau kata (bahasa) sundanya mah hidup aing kumaha aing.
Hijrah Selain karena sang istri, hidup Pevi kemudian berubah setelah ia menyerah dengan ajakan seorang teman. Adalah Fani Inong, seorang skateboarder yang aktif berpapan seluncur sejak tahun 90an. Selama dua tahun, Inong terus mengajak Pevi ikut pengajian.
Tidak mau, sibuk, ada acara, harus main skateboard. Seribu alasan yang saya punya. Tapi ketika (itu) selalu istiqomah teman saya ngajak. Dan akhirnya saya merasa nggak enak karena sering diajakin dan akhirnya saya ikut ke kajian itu. Ternyata kajian itu sangat bermanfaat, kayak mengisi nutrisi hati dimana hati itu kosong ga ada apa-apa tiba-tiba dikasih nutrisi. Hati itu menjadi lebih baik, dan hati dari yang hitam pekat itu bisa jadi abu-abu. Dari situ saya mulai luluh dan nggak keras hati. Dari situ saya mengenal yang namanya solat.
Kajian yang dimaksud Pevi, adalah kegiatan yang digelar kelompok Pemuda Hijrah. Diakui Pevi, ceramah keagamaan yang biasa diikutinya di sana terasa lebih ringan. Saya pernah hadir ke sebuah acara yang digelar di mesjid Trans Studio Mal Bandung. Waktu itu saya tiba pas solat isya tiba. Masjid besar yang ada tepat di sebelah pusat perbelanjaan itu penuh. Saya dan ratusan orang lain sampai harus nunggu giliran buat bisa ikut solat. Itu pun bukan di dalam mesjid, tapi di area parkir. Konten ceramah Ustad Hanan memang dekat dengan kalangan muda. Ketika berbicara tentang Nabi Musa, Ustad muda kelahiran 1981 ini bisa sekaligus membahas tentang gaya milenials di medsos instagram. Saya mengajukan permintaan wawancara dan peliputan Pemuda Hijrah sejak bulan April. Hingga akhir bulan Juni ini, jawabannya sama: komunitas The Shift atau Pemuda Hijrah, belum mau tampil di televisi. Saya juga berusaha mewawancarai Inong, yang juga aktif di Pemuda Hijrah. Sayangnya ia berhalangan. Tapi Pevi sempat cerita, tentang apa alasan Inong mengajaknya hijrah. Katanya, kenikmatan hijrah sama seperti asiknya bermain skateboard.
Dia sekarang mendalami agama. Dan sekarang sudah sangat dalem paham banget soal agama, makanya dia mau mengajak bahwa 'ya saya tau skateboard itu enak, fun. Makanya saya selalu ngajak orang main skateboard. Halnya sama kayak agama itu enak, agama itu fun. Makanya saya mau ngajak kamu ke tolabul ilmu, mengajak ke yang lebih baik. Karena enak.' Menurut dia seperti itu.
Pasca Hijrah Maghrib tinggal belasan menit lagi. Tadinya Pevi mau solat maghrib di mesjid Al Latif, mesjid yang bisa dibilang markas komunitas Pemuda Hijrah. Rencana itu batal karena katanya harus beresin kerjaan di kantor HLWD. HLWD ini brand buatan Pevi yang semula bernama Hellwood. Produknya berupa papan skate dan busana yang spiritnya skateboarding. Hellwood berubah jadi HLWD setelah Pevi hijrah.
Ketika itu memang lagi hell banget. Saya pun bikinnya secara tidak sadar. Ketika saya pikir-pikir sekarang, aduh berat banget namanya takut kebawa-bawa sampe akhirat, akhirnya saya ganti jadi HLWD. Dan sekarang mau manufacturing juga jadi Landed Club, karena sudah landing. Filosofinya di sana karena sudah mulai mendarat semuanya sudah mulai kondusif biar lebih enak terdengar juga.
Lalu, apakah pasca hijrah, Pevi berhenti bermain skateboard? Jawabannya tidak. Kini bahkan ia jadi atlet nasional. Ketika dimintai waktu wawancara pekan lalu, Pevi berhalangan karena lagi ikut pelatnas. Di kesempatan lain ketika saya minta kesempatan ambil gambar pas main skateboard, Pevi bilang besok aja di Bali pas perayaan skateboarding day 21 Juni 2017. “Berarti lusa bukan besok,” saya mengingatkan. “Oh iya berarti lusa,” Pevi jawab setelah diam dulu. “Akang terlalu excited nih kayaknya.” :)
No comments:
Post a Comment