Pagi ini saya memandu seorang narasumber untuk diwawancara dalam siaran langsung oleh presenter dari studio di Jakarta. Segmen 2 program Selamat Pagi Indonesia Metro TV bahas tentang imigran di Kalideres Jakarta yang mengganggu warga setempat. Untuk membahasnya, dari Bandung dihadirkan Kepala Humas Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno—yang kebetulan lagi ada di sini. Nah, sebelum on air, saya dan Pak Agung sempat ngobrol. Dan penjelasannya, kurang lebih juga disampaikan ketika dia diwawancara Sumi dan Iqbal.
Menurut Pak Agung, persoalan imigran sebenarnya dilematis. Di satu sisi, mereka meresahkan masyarakat tuan rumah—seperti yang diberitakan informasi pembuka wawancara. Di sisi lain, nasib malang yang menimpa mereka, memancing simpati juga—diakui warga Kalideres di bagian akhir liputan di atas. Lalu, kenapa mereka datang ke negara kita? Salah satunya, masalah politik di negaranya—ada juga yang karena punya masalah ekonomi.
Saya sempat mengira bahwa Suriah menjadi negara asal sebagian besar pengungsi. Ternyata bukan. Sebagian besar pengungsi berasal dari Afghanistan, negara yang memang sejak puluhan tahun lalu dilanda perang. Dengan posisi geografis yang relatif lebih dekat, mereka kemudian menempati beberapa rumah detensi—Indonesia punya 13 rumah detensi yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura. Rumah detensi ini sendiri, sebenarnya berfungsi sebagai tahanan bagi orang yang melakukan pelanggaran keimigrasian, tapi sekarang malah fungsinya jadi semacam pengungsian, bagi 13 ribuan imigran yang datang ke Indonesia.
Dilematis
Barangkali satu kata itu yang menggambarkan posisi pemerintah kita menghadapi kedatangan para imigran. Ditjen Imigrasi—sesuai undang-undang nomor 6 tahun 2011—tidak menangani imigrasi. Mereka turun tangan berdasarkan perpres 125 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, dengan memberi bantuan penampungan di rumah detensi. Dengan demikian, penanganan yang dilakukan jajaran ditjen imigrasi, mempertimbangakn faktor kemanusiaan. Bagaimana pun, imigran juga manusia. Sama halnya dengan imigran dari Indonesia yang masuk ke pegara pengguna tenaga kerja domestik asal Indonesia—jumlahnya seratusan ribu di Arab Saudi, dan ada juga yang masuk secara ilegal.
Solusinya, sebenarnya ada di tangan negara maju yang meratifikasi perjanjian penampungan imigran. Misalnya tetangga dekat kita: Australia. Sayangnya, negeri wool itu nampaknya juga kesulitan menangani pengungsi. Kondisi mereka di Pulau Manus mengenaskan. Di Nauru juga begitu. Christmas Island—yang katanya keliatan dari pantai selatan Sukabumi—kata Pak Agung mau dijadiin pulau berbasis turisme. Sekarang, yang bisa dilakukan Indonesia, paling melobi negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi penampungan imigran, untuk mau mewadahi saudara kita yang malang tadi. Karena, meskipun jumlah imigran pencari suaka di Indonesia lebih sedikit dibanding negara tetangga—di Malaysia ada 110 ribu orang—tetap saja (menurut warga setempat yang merasakan) keberadaan mereka meresahkan.
“Jadi inget film District 9”, kata saya ke Pak Agung. “Ada wilayah khusus alien di Afrika Selatan, dan orang yang masuk ke sana ternyata ketularan jadi alien juga”.
“Oh iya, gimana kalo petugas kita yang bantu mereka kena penyakit? Udah ada laporan yang kena sifilis loh”, pembicaraan saya dan Pak Agung terhenti karena wawancara di TV akan dimulai. []
No comments:
Post a Comment