Kemarin, massa dari FPI mendatangi kantor majalah Tempo. Mereka memprotes pemuatan karikatur yang ditafsirkan sebagai penghinaan. Singkat cerita, pemimpin redaksi Majalah Tempo meminta maaf atas dampak yang ditimbulkan. Ada pro kontra soal permintaan maaf itu. Karena meminta maaf berarti mengikuti kemauan massa atau mob, yang artinya mengarahkan situasi demokrasi menjadi mobokrasi—menurut KBBI: pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan. Ada pula yang mengapresiasi langkah Arif Zulkifli yang menekankan permemintaan maaf atas
kondisi pasca penerbitan karikatur, bukan
pemuatan karikatur di Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018. Yang mau saya katakan, kondisi di atas rasanya relevan dengan sejumlah kondisi di buku yang saat ini saya baca. Judulnya Karni Ilyas: Lahir Untuk Berita. Biografi ini sebenarnya terbitan tahun 2012. Di dalamnya, selain menceritakan perjalanan karir 40 tahun sebagai wartawan sang presiden Indonesia Lawyers Club, juga memuat catatan mingguannya yang dulu terkenal rutin dimuat di majalah FORUM keadilan: Catatan Hukum (cakum). Ada beberapa argumen dalam cakum yang mirip dengan kondisi yang dihadapi Tempo—dan media massa lain pada umumnya—terutama ketika berhadapan dengan ketidakpuasan publik atas produk jurnalistik. Dalam sebuah edisi cakum berjudul “Trial By The Press”—media massa yang mengambil alih wewenang hakim dalam persidangan—Karni berkisah tentang pejabat kejaksaan yang tidak nyaman dengan pemberitaan beberapa kasus. Mereka merasa terusik karena nama baik institusinya sedang diusik akibat sejumlah kasus, dari Bank Duta sampai Bappindo-Eddy Tansil. Karni membela diri bahwa kondisi serupa trial by the press yang dikeluhkan, justru terjadi karena pihak yang harusnya memberi klarifikasi malah tidak memenuhi haknya.
“faktor utama penyebab situasi itu terjadi adalah sikap kedua pejabat tersebut yang tetap saja tutup mulut bila dikonfirmasi wartawan” (cakum Trial By The Press, 7 Juli 1994)
Kondisi sebangun nampaknya terjadi dalam kasus yang menjadi latar belakang pembuatan karikatur di Majalah Tempo. Celakanya, seperti yang tertulis dalam cakum berjudul “Pers”, wartawan tak ubahnya setiap hari bertemu buah simalakama.
“Kalau berita yang diturunkan media massa kurang ‘menggigit’, pembaca akan menganggap wartawannya sudah melempem. Tapi, kalau beritanya cukup kritis, banyak pihak akan merasa tersinggung.” (cakum Pers, 25 September 1995)
Padahal,
“...keadaan masyarakat sendiri ikut menentukan lahirnya berita tersebut. Tidakkah, memang, pers sering menerima jeritan masyarakat...” (cakum Pers, 25 September 1995)
Dengan demikian, yang terjadi di kantor Tempo tempo hari kelihatannya timbul karena ketidakpahaman itu. Terlebih, demonstran juga tidak mengerti bahwa pengaduan produk jurnalistik mestinya dialamatkan ke Dewan Pers. Malangnya, polisi tidak mengarahkan mereka ke jalan yang benar, malah memberi izin demo ke kantor media massa. Maka jelas sudah simpulan dari realita pasca karikatur Majalah Tempo:
“Kekuasaan itu tidak hanya harus berarti kekuasaan raja atau presiden, ... kekuasaan kelompok mayoritas, bahkan kekuasaan alat-alat opini publik selama ini. Karena itu, Rendra berkesimpulan, reformasi apa pun juga, termasuk reformasi kekuasaan, tidak ada gunanya bila hukum tidak berada di atas segala-galanya.” (cakum Reformasi, 18 Mei 1998) []
No comments:
Post a Comment