Saya kenal seorang Agus. Dia teman saya semasa kuliah di
periode 2008-2011. Tahun 2012-2013 Agus lanjut jadi asisten dosen di departemen
kami. Lima tahun berikutnya Agus tinggal di Amerika Serikat, meraih gelar
master dan sekarang menjemput titel doktor.
Lima hari terakhir Agus berkunjung ke Bandung, tempat saya
sekarang tinggal bersama anak dan istri. Di hari kedua kunjungannya, saya ajak
Agus menjelajah kawasan kota tua. Sore itu kami mulai dari pertigaan jalan
braga dan jalan asia afrika. Agus menunggu di seberang Starbucks. Ketika kami
duduk berhadapan sekitar 20 menit kemudian di Warkop Purnama, titik tempat dia
menunggu terekam dalam sebuah foto bernuansa sepia, ketika jalanan di masa itu
lengang dan delman masih melintasi jalan asia afrika ke arah timur—sekarang,
arus lalu lintas di jalan asia afrika dibuat searah ke barat, dan tentu saja
tidak ada lagi delman. Kota Bandung beruntung masih punya beberapa warisan
peninggalan masa lalu. Dan kisah dari berbagai lokasi bersejarah itulah yang
saya kenalkan ke agus dalam tiga hingga empat jam setelahnya.
Di warung kopi yang semula bernama Chang Chong Se itu, saya
dan agus ngobrol lama. Ditemani roti srikaya—yang saya paksa Agus buat
nyicip—kami bicara banyak hal. Dari presiden sampai dosen. Dari buku The Broken
Ladder—tentang kesenjangan ekonomi—hingga kumpulan cerpen Semua Untuk Hindia. Dari
film The Death of Stalin sampai Buffalo Boys. Sebagai kawan lama, tentu saja
pembicaraan tentang masa lalu juga kami ungkit. Agus masih tertawa lepas ketika
saya ceritakan ulang soal egosentrismenya sebagai anak bungsu. Dan agus sempat
bikin kaget karena mengingat bahwa saya pernah berniat untuk melarang istri
bekerja ketika menikah kelak. Saat itulah saya sadari bahwa, kami berubah.
***
Saya dan Agus sama-sama suka film. Katanya, dia selalu
ceritakan ke teman-temannya di Amerika tentang film yang pernah kami buat bertiga,
bersama Metha. Saya dan Agus juga suka bertukar referensi film. Selama di
Amerika sana, Agus sulit buat nonton film Indonesia. Saya ceritakanlah bahwa
Pengabdi Setan memang seseru Hereditary. Bahwa akhir-akhir ini banyak film
nasional yang menarik. Dari Kulari ke Pantai sampai Buffalo Boys. Judul terakhir
itu yang semalam saya tonton.
Buffalo Boys bercerita tentang tiga orang pria Jawa yang
kembali ke kampung halamannya setelah diungsikan ke alam liar benua amerika
tahun 1860. Ketiga orang tadi kemudian membawa bekal kemampuan bertarung ala
wild west ke east indie, untuk membalas dendam ke bangsa penjajah.
Kalau dikait-kaitkan, Agus ini Buffalo Boys juga. Seorang yang
lahir di Jawa Barat merantau ke pesisir timur Pennsylvania. Seperti trio Jamar,
Suwo dan Arana, Agus pulang sementara dari negara barat ke belahan bumi timur
dengan oleh-oleh khasnya. Sepertinya, anugerah terbesar Agus setelah dia
berjuang di masa menjadi asisten dosen, bukan cuma gelar akademik di Amrik. Keleluasaan
berpikir. Dan keberanian mengambil keputusan. Mungkin itu yang paling dia
nikmati saat ini, di negeri yang mendewakan kata freedom. Apakah kebebasan dan
keberanian Agus (akan) subur juga di Indonesia? Tidak ada jaminan demikian.
Mungkin kenyataan itu yang mendorong Agus buat balik lagi dan tinggal di sana.
Bisa sampai lima tahun ke depan, bisa juga lebih lama dari itu. []
No comments:
Post a Comment